06 Mac 2010

Hukum Indonesia & Hukum Islam


Pengertian Hukum
Apakah definisi hukum? Ada yang menyatakan bahwa tidak mungkin memberikan defenisi tentang hukum yang memadai dan konferhensif. Sejak lama orang sibuk mencari suatu defenisi tentang hukum namun belum pernah mendapat suatu definisi yang memuaskan, hampir semua ahli hukum memberikan defenisi tentang hukum namun berlainan isinya. Ini menunjukkan bahwa hukum itu bersifat abstrak, banyak seginya, dan luas cakrawalanya, sehingga tidak mungkin orang menyatukannya dalam satu rumus secara memuaskan.


Perbedaan memberikan definisi ini sangat dipengaruhi oleh aliran yang melatarbelakanginya, umpamanya ada aliran sosiologis, aliran realis, aliran antropologis, aliran historis, aliran hukum alam dan aliran positivis.
Aliran Sosiologis menilai hukum dari sudut hubungan antar manusia dengan individu yang lain yang saling mempengaruhi dan menentukan tingkah laku mereka.

Aliran Realis memandang hukum itu kumpulan asas-asas yang diakui dan diterapkan oleh negara di dalam peradilan. Aliran ini hanya melihat dari segi realitanya.

Aliran Antropologis mendefinisikan bahwa hukum adalah setiap aturan tingkah laku yang mungkin diselenggarakan oleh pengadilan.

Aliran Historis mendefinisikan hukum dari sejarah dan proses terjadinya. Hukum berakar pada sejarah manusia, dimana akarnya dihidupkan oleh kesadaran, keyakinan dan kebiasaan warga negara.

Hukum dalam arti luas dapat disamakan dengan aturan, kaidah, norma, atau ugeran, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang pada dasarnya berlaku dan diakui orang sebagai peraturan yang harus ditaati dalam kehidupan bermasyarakat dan apabila dilanggar akan dikenakan sanksi.

Hukum Indonesia
Erman Rajagukguk, Guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, menilai bahwa Hukum di Indonesia adalah hukum yang pluralis. Ini bisa dilihat dari tiga aspek : sejarah, pluralisme masyarakat Indonesia dan Indonesia bagian dari masyarakat global.

1. Dari aspek sejarah, bahwa hukum Indonesia (saat ini) adalah hasil dari perpaduan berbagai hukum, seperti hukum adat, hukum Islam, dan KUH Perdata dan KUH Pidana yang merupakan kodifikasi hukum Belanda, yang berdasar asas konkordansi maka hukum di Nederland berlaku bagi penduduk di Hindia Belanda mulai tahun 1848
2. Dari aspek pluralisme masyarakat Indonesia, nampak dengan adanya hukum adat.
3. Dari aspek Indonesia sebagai bagian dari masyarakat global, bahwa Indonesia terikat dengan perjanjian-perjanjian Internasional, seperti perjanjian perdagangan internasional, perjanjian hak kekayaan intelektual, dan lain-lain.

Karakteristik Hukum Buatan Manusia
Jika kita melihat dari pengertian hukum di atas, di sana tercermin karakteristik hukum buatan manusia. Hukum buatan manusia lahir dari hasil interaksi sosial mereka, lahir dari kesepakatan-kesepakatan antar sesama mereka, yang kemudian dikukuhkan oleh suatu lembaga yang mereka bikin sendiri.

Hukum buatan manusia lahir dari pengalaman-pengalaman hidup manusia. Dari interaksi sosial lahirlah gesekan sosial. Untuk menghindari gesekan-gesekan itu agar tidak berdampak pada bentrokan yang lebih keras, maka dibuatlah aturan. Aturan itu tidak akan berfungsi tanpa ada kesepakatan antara sesama mereka untuk mematuhinya, maka dibuatlah kesepakatan dan sanksi-sanksi.

Dari sini, maka karakteristik hukum buatan manusia memiliki karakteristik yang mengikuti pembuatnya: Terbatas. Hukum ini berkembang seiring berkembangnya pemikiran manusia, bisa berubah seiring perobahan tempat dan waktu. Ia hanyalah sebuah pengesahan oleh mereka sendiri terhadap apa yang mereka inginkan, sehingga ketika mereka menginginkan pengesahan terhadap pernikahan sesama jenis umpamanya, hal itu sah-sah saja, walaupun hal itu akan berdampak pada kehancuran pada umat manusia di masa mendatang, karena manusia memang tidak bisa melihat ke masa yang akan datang. Ketika masalah itu datang, baru mereka membuat aturan lagi untuk menyelesaikannya.

Defenisi dan Karakteristik Hukum Islam
Dalam makalah saya: “Piagam Jakarta Sebagai Solusi” telah sempat saya sebutkan beberapa karakteristik hukum Islam serta kelebihannya dibandingkan dengan hukum buatan manusia, jadi saya rasa tidak perlu saya uraikan secara panjang lebar di sini. Intinya, diantara karakteristik hukum Islam adalah: Ia bersifat syamil (komplit), kamil (sempurna), bersifat tetap, membawa pada keselamatan yang pasti.

Definisi hukum dalam Islam: Secara harfiyah, hukum itu artinya: “menetapkan sesuatu atas sesuatu” ( إثْبَاتُ شَيْء عَلَى شَيْءٍ ). Menurut sarjana Ushul Fiqh, definisi hukum (الحُكْم) dirumuskan sebagai berikut: “Titah Allah (atau Sunnah Rasul) tentang laku perbuatan manusia mukallaf (dewasa), baik yang diperintahkan, yang dilarang maupun yang dibolehkan. Demikian pula tentang keadaan-keadaan tertentu menjadi sebab, atau menjadi syarat, atau menjadi penghalang bagi berlakunya”(1).

Dari defenisi ini sangat jelas, bahwa hukum bagi seorang muslim adalah mutlak ketentuan Allah dan Rasul-Nya atas setiap mukallaf.

Berkaitan dengan hukum Islam sendiri, ada dua istilah yang populer: Syari’at dan Fiqh. Seringkali istilah syari’at dan fiqh dirangkum dalam satu kata, yakni hukum Islam tanpa menjelaskan apa yang dimaksud. Hal ini dapat difahami karena hubungan keduanya sangat erat, dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan.

Pada pokoknya perbedaan antara syari’at Islam dan fiqh Islam adalah sebagai berikut:

  1. Syari’at adalah Firman Allah dan Sunnah Rasul SAW., sedangkan fiqh adalah pemahaman manusia yang memenuhi syarat tentang syari’at yang kadang-kadang kemudian dituangkan dalam kitab-kitab fiqh.
  2. Syari’at bersifat fundamental dan mempunyai ruang lingkup yang lebih luas sedangkan fiqh ruang lingkupnya terbatas pada apa yang biasanya disebut perbuatan hukum.
  3. Syari’at berlaku abadi karena ia adalah ketetapan Allah dan Rasul-Nya, sedangkan fiqh adalah pemahaman manusia yang ada kemungkinan salah dan perlu dikoreksi, karena itulah Imam Syafi’i berkata: “Setiap perkataanku bila berlainan dengan riwayat yang shahih dari Nabi SAW., hadits Nabi SAW. lebih utama dan kalian jangan bertaqlid kepadaku”. Para Imam Madzhab yang lainpun menyatakan pernyataan yang semisal itu.(2)
  4. Syari’at hanya satu sedangkan fiqh bisa lebih dari satu, seperti yang terlihat pada aliran-aliran hukum yang disebut madzaahib.(3)
Dalam istilah lain, ada juga yang membedakannya menjadi: Asas Syara’ (Syari’at Dasar) dan Furu’ Syara’ (Syari’at cabang). Asas Syara’ yaitu perkara yang sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadits. Kedudukannya sebagai Pokok Syari'at Islam dimana Al Quran itu Asas Pertama Syara' dan Al Hadits itu Asas Kedua Syara'. Sifatnya, pada dasarnya mengikat umat Islam seluruh dunia dimanapun berada, sejak kerasulan Nabi Muhammad saw hingga akhir zaman, kecuali dalam keadaan darurat.
Adapun Furu’ Syara’ yaitu perkara yang tidak ada atau tidak jelas ketentuannya dalam Al-Quran dan Al-Hadist. Kedudukannya sebaga Cabang Syari'at Islam. Sifatnya pada dasarnya tidak mengikat seluruh umat Islam di dunia kecuali oleh Ulil Amri setempat diterima sebagai peraturan / perundangan yang berlaku dalam wilayah kekuasaanya. Perkara atau masalah yang masuk dalam furu' syara' ini juga disebut sebagai perkara ijtihadiyah.
Prospek Hukum Islam di Indonesia
Tidak sedikit yang menginginkan penerapan hukum Islam di Indonesia, dan berbagai upaya mereka lakukan untuk menjadikan Islam sebagai hukum bagi Negara Indonesia, atau setidaknya bagi umat Islam di Indonesia (lihat tulisan saya: Piagam Jakarta Sebagai Solusi).

Namun tidak sedikit juga yang menolaknya. Ada beberapa alasan yang mereka kemukakan, baik yang diungkapkan secara logis maupun dengan prasangka semata yang tidak diiringi alasan yang realistis. Diantara alasan-alasan itu adalah:

  1. Kekhawatiran akan terjadi saling rebut kekuasaan antara sesama Muslim karena perbedaan mazhab
  2. Hukum Islam diangap sudah ketinggalan jaman
  3. Hukum Islam kejam
  4. Tidak menghargai pluralisme di Indonesia
  5. Akan terjadi dualisme hukum

Jawaban Atas Keraguan
Untuk menjawab berbagai tuduhan miring atau ungkapan-ungkapan yang meragukan itu, maka di sini akan saya coba menjawabnya

  1. Tentang kekhawatiran tersebut, sebenarnya telah saya jawab pada status dalam link di atas. Intinya, kekhawatiran itu semata hanya sebuah kekhawatiran yang tidak mendasar, karena sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa Syari’at Islam itu ada yang menjadi asas syara’ yang berlaku umum tanpa ada ikhtilaf dan ada furu’ syara’. Untuk masalah furu’ ini tidak mengikat seluruh umat Islam di dunia kecuali oleh Ulil Amri setempat diterima sebagai peraturan / perundangan yang berlaku dalam wilayah kekuasaanya.
  2. Anggapan bahwa hukum Islam ketingalan jaman juga tidak beralasan dan hanya sebuah tuduhan membabi buta. Sebagaimana telah disebutkan dalam bagian “Sifat Agama Islam” pada makalah saya “Piagam Jakarta Sebagai Solusi”, bahwa sifat hukum Islam adalah syamil (komplit), kamil (sempurna) dan bersifat tetap hingga akhir zaman, karena Allah sebagai Pencipta Manusia sangat menegtahui karakteristik dan kebutuhan ciptaan-Nya.
Atau mungkin tuduhan itu mungkin lahir karena Islam tidak mengatur masalah hukum berlalu lintas umpamanya? Secara dasar-dasarnya sebenarnya telah diatur. Manusia diperbolehkan untuk membuat suatu qanun (undang-undang/ peraturan) yang belum diatur oleh syara’ secara rinci semisal peraturan lalu lintas, dan peraturan-peraturan lainnya, karena Islam sudah punya kaidah hukum semisal istihsan dan maslahah mursalah.
  1. Tuduhan bahwa Hukum Islam sebagai hukum yang kejam juga tidak berdasar dan semata melihat pada anggapan pribadi. Ketika seorang pembunuh dihukum bunuh umpamanya, itu adalah balasan yang setimpal. Jika itu tidak dilakukan oleh negara, maka akhirnya lahirlah tindakan main hakim sendiri, sehingga perkelahian dan saling membunuh semisal carok sudah menjadi suatu budaya suatu masyarakat yang terkenal berbudaya ini.
  2. Hukum Islam tidak menghargai pluralisme, biasanya dikemukakan oleh golongan pluralis. Namun alasan mereka ini sebenarnya justru menjadi alasan untuk menolak alasan mereka sendiri. Jika terjadi pemaksaan hukum KUHP kepada Muslim, apakah tindakan itu juga tidak menghargai pluralisme? Karena menerapkan syari’at adalah suatu kewajiban bagi Muslim, sedangkan bagi yang lain tidak ada kewajiban apapun untuk mengikuti suatu hukum tertentu, lalu apa salahnya turut mengikuti hukum Islam?
Apalagi Piagam Jakarta hanya mewajibkan Umat Islam untuk melaksanakan hukum Islam, jadi di mana letak tidak menghargai pluralismenya? Atau yang mereka maksudkan itu agar umat Islam boleh tetap mengaku Islam walau tanpa berhukum dengan hukum Islam? Mungkin itulah mau mereka: mengacak-acak Islam. Biarkan mereka beragama Islam, tapi jangan sampai mereka menjalankan agamanya.
  1. Alasan akan terjadi dualisme hukum juga tidak beralasan. Sebelum Belanda datang ke Indonesia, Syari’at Islam sebenarnya telah diterapkan di kesultanan-kesultanan Islam di Nusantara. Umpamanya Nuruddin ar-Raniri menulis buku “Sirathal Mustaqim” pada tahun 1628. Justru setelah Belanda datang ke Indonesia, mereka membawa hukum Belanda untuk diterapkan di Nusantara, sehingga lahirlah dualisme hukum. Sekarangpun kita masih menganutnya dan hal itu aman-aman saja kan? Umpamanya ada hukum perbankan umum dan perbankan syari’ah.

Syari’at Islam dan Undang-Undang Dasar 1945
Ada suatu kekhawatiran, khususnya dari kalangan non-muslim dan liberalis, bahwa penerapan syari’at Islam akan menyebabkan Islam menjadi negara Islam. Ini adalah suatu kekhawatiran yang tidak beralasan, karena penerapan syari’at Islam adalah juga amanat Uandang-Undang Dasar 1945.

Dalam pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa Republik Indonesia berdasar pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Inilah kemudian yang menjadi sila pertama Pancasila. Hal ini dipertegas lagi pada pasal 29 ayat 1: Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebelumnya pasal itu berbunyi: Negara berdasar atas ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Tujuh kata yang terkenal dengan nama “Piagam Jakarta” itu kemudian dihapus pada tanggal 18 Agustus 1945 hanya gara-gara sebuah informasi yang tidak jelas.

Namun dalam dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1955, dengan sangat jelas disebutkan: “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan menjadi satu kesatuan dengan konstitusi tersebut”. Lalu mau ditafsirkan apa lagi oleh mereka teks UUD 1945 pasal 29 ayat 1 tersebut? Tidak heran, ketika amandemen UUD 1945, tidak sedikit yang berupaya menghapus bukti sejarah ini.


--------------------------------
1. Razak, Nasruddin, Drs., “Dienul Islam”, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1982), Cet. V, hal. 240
2. Al-Albani, Muhammad Nashiruddin, “Sifat Shalat Nabi”, (Yogyakarta: Media Hidayah, 2000), Cet. I, hal. 52-63
3. Furqan, Arif, H., M.A., Ph.d., , et.al, Idem, hal. 17


Share/Save/Bookmark

1 Comment:

dwisuka said...

Memang benar, sangat tidak beralasan orang yg menganggap hk Islam ketinggalan jaman. Mereka gak tahu bahwa human rights-nya PBB itu sdh lama dianut hk Islam sejak berabad tahun yg lalu. Salut....

http://dwiliz.blogspot.com