23 Februari 2010

Problematika Kalender Hijriyah


1. Patokan Penghitung Tanggal
Ada dua patokan utama dalam menghitung pergantian tanggal, yaitu berdasarkan peredaran bulan dan berdasarkan peredaran matahari. Pergantian tanggal yang dihitung yang dihitung berdasar peredaran bulan disebut kalender Qomariyah atau Hijriyah atau Kalender Lunar, sedangkan yang berpatokan pada peredaran matahari disebut Kalender Syamsiyah atau Miladiyah.


Kedua-duanya telah disindir dalam Al-Qur`an:

فَالِقُ الإصْبَاحِ وَجَعَلَ اللَّيْلَ سَكَنًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ حُسْبَانًا ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ

“Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat, dan (menjadikan) matahari dan bulan untuk perhitungan. Itulah ketentuan Allah yang Maha Perkasa lagi Maha mengetahui”. (Al-An’am; 6 : 96)

Selain itu juga disebutkan dalam Q.S. Yunus ayat 5 (tentang perhitungan waktu dengan peredaran bulan) dan Al-Isra ayat 17 (tentang peritungan waktu berpatokan pada peredaran matahari).

2. Fungsi Penghitungan Waktu Dengan Peredaran Bulan
Fungsi utama perhitungan pergantian waktu dengan peredaran bulan adalah untuk penentuan ibadah dalam Islam. Ada beberapa ibadah yang terikat dengan perhitungan waktu berdasar peredaran bulan, baik yang wajib maupun yang sunnah, yaitu:
- Penentuan awal Ramadhan
- Penentuan Iedul Fitri (1 Syawwal)
- Penentuan Iedul Adha
- Penentuan Puasa Hari ‘Arafah
- Penentuan Puasa hari ‘Asyura
- Penentuan puasa ayyam al-bidh
- Penentuan mulai masuk dan berakhirnya bulan-bulan Haram

Karena fungsi inilah maka penghitungan waktu berdasar peredaran bulan menjadi sangat penting dalam Islam. Selain fungsi utama ini, juga ada fungsi lain, yaitu sebagai penanggalan biasa sebagaimana halnya fungsi penanggalan berdasarkan peredaran matahari.

3. Hisab dan Ru’yah
Tentang alasan-alasan yang berpatokan pada hisab dan yang berpegang teguh pada ru`yah dengan mata telanjang tidak perlu saya sebutkan secara panjang lebar di sini, karena telah saya bahas dalam “Penentuan Ramadhan, Iedul Fitri dan Iedul Adha”, pada poin C, bagian pertama

Hanya sekedar untuk diketahui di sini, bahwa penetapan Kalender Hijriyah yang akan kita bicarakan pastilah berdasarkan hisab, karena tidak mungkin membuat kalender dengan ru`yah, karena kalender harus dibuat untuk waktu jauh ke depan.

4. Kalender Hijriyah Nasional
Sementara ini, kalender Hijriyah masih bersifat lokal. Itupun juga masih terdapat perbedaan-perbedaan. Perbedaannya bukan pada masalah penghitungan matematis, tapi pada penentuan ketika kapan bulan sudah bisa dianggap sebagai bulan baru. Dalam hal ini ada yang berpatokan pada wujud al-hilal, ada yang perpatokan pada imkan ar-ru`yah, dan ada juga yang berpatokan pada imkan ar-ru`yah + ru`yah.

Di Indonesia ada beberapa kalender hijriah yang berkembang, seperti Kalender Muhammadiyah, Almanak PB NU, Alamanak Menara Kudus, Taqwim Standar Indonesia, dan Almanak PERSIS.

Kalender Muhammadiyah menggunakan teori wujudul hilal secara konsisten untuk menentukan awal bulan sejak Muharam sampai Zulhijah. Sementara itu, Almanak Persis menggunakan teori imkanur ru`yah untuk menentukan awal bulan sejak Muharam sampai Zulhijah. Di sisi lain, Almanak NU menggunakan imkanur ru`yah (Muharam-Sya'ban), sedangkan untuk menentukan awal Ramadhan dan Syawal menunggu hasil ru`yatul hilal. Begitu pula Taqwim Standar Indonesia menggunakan imkanur ru`yah (Muharam-Syakban), sedangkan untuk menentukan awal Ramadhan dan Syawal menunggu hasil sidang Itsbat.

5. Faktor Pendorong Lahirnya Ide Kalender Hijriyah Internasional
Ada beberapa factor yang mendorong tercetusnya ide dan harapan agar lahir sebuah kalender Hijriyah terpadu yang yang berlaku secara Internasional, diantaranya:

- Sempat sedikit di singgung dalam “Penentuan Ramadhan, Iedul Fitri dan Iedul Adha”, pada poin C, bagian kedua, tentang dalilnya. Juga tentang alasan yang dikemukakan oleh sebagian kalangan Hizbut-Tahrir.
- Seringnya terjadi perbedaan penetapan awal bulan berdampak pada rasa was-was dalam beribadah. Khususnya adalah ketika penetapan awal bulan Dzul Hijjah (Bulan Haji), karena ada dua ibadah yang saling berkaitan, yaitu Ibadah haji dan Puasa Hari ‘Arafah (lihat : “Penentuan Ramadhan, Iedul Fitri dan Iedul Adha”, pada poin C, bagian ketiga, juga Penjelasan Dr. H. Syamsul Anwar, M.A. tentang alasan perbedaan penetapan Iedul Adha antara Saudi Arabia dan Muhammadiyah)
- Selain dua faktor utama di atas, juga faktor lain, umpamanya dalam hal korespondensi dan penetapan cuti dan libur, khususnya bagi mereka yang bekerja di negara-negara Barat.

6. Kalender Hisab ‘Urfi
Hisab ‘Urfi (atau kadang disebut juga Hisab ‘Alamah), adalah metode perhitungan bulan hijriah tidak berdasarkan gerak faktual Bulan di langit, melainkan dengan mendistribusikan jumlah hari dalam satu tahun hijriah ke dalam bulan-bulan hijriah berdasarkan pematokan usia bulan-bulan tersebut berselang-seling 30 dan 29 hari antara bulan-bulan bernomor urut ganjil dan bulan-bulan bernomor urut genap. Bulan-bulan bernomor urut ganjil dipatok usianya 30 hari dan bulan-bulan bernomor urut genap dipatok usianya 29 hari, Tetapi ada catatan bahwa usia bulan Zulhijah 29 hari adalah pada tahun pendek (basitat), sedangkan pada tahun panjang (kabisat) usianya ditetapkan 30 hari.

Dasar hisabnya adalah perhitungan rata-rata hari dalam satu bulan dan rata-rata hari dalam satu tahun. Rata-rata hari dalam satu bulan menurut hisab urfi adalah 29,5 hari 44 menit dan ini merupakan umur dasar bulan. Angka 2,8 detik sisanya diabaikan karena sangat kecil sehingga tidak berarti. (Perlu diketahui bahwa perjalanan sinodis Bulan di langit mengelilingi bumi sesungguhnya adalah 29 hari 12 jam 44 menit 2,8 detik). Dengan demikian rata-rata hari dalam satu tahun adalah 354 hari 528 menit (354 hari 8 jam 48 menit), yang merupakan hasil dari
ð (29,5 hari x 12) + (44 menit x 12) = (354 hari) + (528 menit).

Berhubung jumlah hari yang menjadi usia bulan itu harus berupa bilangan utuh (bukan pecahan seperti 29,5 hari misalnya), maka caranya bilangan pecahan 29,5 hari itu dikalikan 2 sehingga menjadi 59 hari. Ini adalah usia dua bulan. Lalu yang 30 puluh hari diberikan kepada bulan ganjil dan yang 29 hari diberikan kepada bulan genap. Dengan kata lain dapat dijelaskan bahwa rata-rata usia bulan 29,5 hari itu, untuk bulan ganjil dijadikan 30 hari dengan mengambil setengah hari dari rata-rata usia bulan. Dengan demikian usia bulan genap dijadikan 29 dengan mengurangi setengah hari dari usia rata-rata bulan. Jadi jumlah hari dalam satu tahun hijriah seluruhnya adalah 6 bulan ganjil x 30 hari ditambah 6 bulan genap x 29 hari sama dengan 354 hari. Inilah jumlah hari dalam satu tahun hijriah menurut hisab urfi. Namun perlu dicatat jumlah 354 hari ini adalah usia tahun pendek (basitat).

Adapun sisa 44 menit setiap bulan menjadi 528 menit selama satu tahun. Dalam tempo 3 tahun jumlah ini menjadi satu hari lebih 144 menit (528 x 3 = 1584 menit. Satu hari = 1440 menit). Dalam tempo tiga puluh tahun jumlah ini menjadi 15840 menit (30 x 528 = 15840), atau genap 11 hari (15840 : 1440 = 11 hari). Jadi sisa 11 hari ini harus didistribusikan ke dalam tahun-tahun selama periode 30 tahun, masing-masing tahun ditambahkan satu hari. Bulan yang mendapat tambahan 1 hari dalam suatu tahun itu adalah bulan penutup tahun, yaitu Zulhijah, sehingga pada tahun yang mendapat tambahan satu hari usia Zulhijah menjadi 30 hari. Akibatnya tahun-tahun yang mendapatkan tambahan satu hari ini memiliki usia 355 hari dan disebut tahun kabisat. Tahun-tahun yang mendapatkan tambahan 1 hari dalam periode 30 tahun itu adalah tahun-tahun yang angkanya merupakan kelipatan 30 ditambah 2, 5, 7, 10, 13, 16, 18, 21, 24, 26, dan 29. Misalnya kelipatan 30 yang pertama dari tahun hijriah adalah tahun 30 H (zaman Khalifah Usman Ibn Affan). Maka tahun kabisatnya adalah tahun 32, 35, 37, 40, 43, 46, 48, 51, 54, 56, dan 59. Sekarang kita telah melewati kelipatan 30 yang ke-47. Kelipatan 30 yang ke-47 itu adalah tahun 1410 H. Maka tahun kabisatnya adalah 1412, 1415, 1417, 1420, 1423, 1426, 1428, 1431, 1434, 1436, dan 1439. Kelipatan 30 yang ke-50 dari tahun hijriah adalah tahun 1500 H yang akan datang. Maka tahun kabisatnya adalah tahun 1502, 1505, 1507, 1510, 1513, 1516, 1518, 1521, 1524, 1526, dan 1529. Begitulah seterusnya.

Jadi dalam periode 30 tahun terdapat 11 tahun kabisat, dan dengan demikian tahun basitatnya adalah 19 tahun. Jumlah hari dalam satu kelipatan 30 tahun adalah 10631 hari yang merupakan hasil penjumlahan 19 tahun basitat x 354 hari ditambah 11 tahun kabisat x 355 hari sama dengan 6.726 hari + 3.905 hari = 10.631 hari.

Ringkasnya, menurut hisab urfi:
  1. Jumlah hari dalam satu tahun untuk tahun basitat adalah 354 hari, dan tahun basitat itu ada 19 tahun selama satu periode 30 tahun.
  2. Jumlah hari dalam satu tahun untuk tahun kabisat adalah 355 hari, dan tahun kabisat itu ada 11 tahun dalam satu periode 30 tahun.
  3. Jumlah seluruh hari dalam satu peirode 30 tahun adalah 10631 hari.
  4. Tahun kabisat adalah tahun-tahun kelipatan 30 ditambah 2, 5, 7, 10, 13, 16, 18, 21, 24, 26, dan 29.
  5. Umur bulan dalam 1 tahun menurut hisab urfi berselang-seling antara 30 dan 29 hari.
  6. Bulan-bulan yang bernomor urut ganjil dipatok usianya 30 hari.
  7. Bulan-bulan bernomor urut genap dipatok usianya 29 hari, kecuali bulan Zulhijah, pada setiap tahun kabisat diberi tambahan umur satu hari sehingga menjadi 30 hari.

7. Permasalahan Pada Hisab ‘Urfi
Perhitungan dengan Hisab ‘Urfi ini ada kalanya memang tepat, namun sering pula tidak sesuai dengan realitanya bila dilihat dengan hisab factual berdasar peredaran bulan di langit. Sebagai contoh saja, mungkin kita bisa melihat bahwa Sholat Iedul Fithri pada tahun 1430 Hijriyah yang lalu kalau berdasar hisab ‘Urfi jatuh pada hari Senin, 21 September 2009, namun berdasar hisab factual yang dikeluarkan oleh Muhammadiyah (kemudian juga dikuatkan dengan hasil ru’yah), bahwa Sholat Iedul Fitri dilaksanakan pada hari Ahad, 20 September 2009, karena pada hari Sabtu menjelang Magrib bulan sudah terlihat.

Sangat jelas terlihat, bahwa metode Hisab ‘Urfi ini meniru mentah-mentah metode perhitungan tanggal pada kalender Syamsiyah (lihat: http://id.wikipedia.org/wiki/Tahun_Kabisat).
Para ahli belakangan mempermasalahkan perhitungan Hisab ‘Urfi ini. Ada beberapa hal yang menjadi masalah:
- Angka 2,8 detik sisanya yang diabaikan karena dianggap sangat kecil sehingga tidak berarti, bila diakumulasikan akan melahirkan angka yang besar. Jumlah satu hari akan tercapai pada akhir bulan Jumadil Akhir tahun 2572 H, sehingga harus dilakukan lagi koreksi kalender, dan setiap kelipatan 2571,5 tahun akan terakumulasi sisa waktu satu hari.
- Perlu diketahui secara pasti hari yang merupakan tanggal 1 Muharam tahun 1 Hijriyah. Hal itu karena penentuan suatu tanggal tertentu di kemudian hari dilakukan dengan menjumlahkan seluruh hari yang telah dilalui hingga tanggal bersangkutan, sementara dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat para ahli. Ada yang menyatakan tanggal 1 Muharram tahun1 H bertepatan dengan hari Kamis 15 Juli 622 M, dan ada yang mengaggapnya jatuh hari Jumat 16 Juli 622 M. perbedaan mulainya tanggal 1 Muharram tahun 1 Hijriyah ini akan berdampak pada hasil penentuan awal bulan-bulan berikutnya.
- Yang paling penting yang menjadi masalah pada Hisab ‘Urfi ini adalah bahwa Hisab ‘Urfi tidak berdasar pada gerak faktual bulan di langit. Hisab ‘Urfi ini juga terbukti tidak sesuai dengan realita sunnah. Sebagaimana telah disebutkan di atas, Hisab ‘Urfi telah mematok usia bulan-bulan bernomor ganjil (yang termasuk di dalamnya adalah Bulan Ramadhan) sebanyaki 30 hari, sedangkan realitanya Rasulullah dan para sahabat lebih sering berpuasa Ramadhan 29 hari :

1. Hadis Ibn Mas’ud r.a.:

عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ مَا صُمْنَا رَمَضَانَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تِسْعًا وَعِشْرِينَ أَكْثَرَ مِمَّا صُمْنَا ثَلاثِينَ

Dari ‘Abdullah Ibn Mas‘ud (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Puasa yang
saya lakukan 29 hari bersama Rasulullah saw lebih banyak daripada puasa yang saya lakukan bersamanya 30 hari (HR Ahmad, at-Turmuzi, Abu Dawud, al-Baihaqi, ad-Daraqutni, at-Tabarani, dan menurut Ibn Hajar sanadnya baik).

2. Hadits ‘A`isyah r.a.:

قِيلَ لِعَائِشَةَ يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ رُئِيَ هَذَا الشَّهْرُ لِتِسْعٍ وَعِشْرِينَ قَالَتْ وَمَا يُعْجِبُكُمْ مِنْ ذَاكَ لَمَا صُمْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تِسْعًا وَعِشْرِينَ أَكْثَرُ مِمَّا صُمْتُ ثَلاثِينَ

(Diriwayatkan dari) Aisyah bahwa ia pernah ditanya: Wahai Ummul Mukminin, bulan kali ini hanya 29 hari? Aisyah menjawab: Apa dari masalah ini yang mengherankan kamu? Sungguh-sungguh puasa yang saya lakukan bersama Rasulullah saw 29 hari lebih banyak dari puasa yang saya kerjakan 30 hari [HR Ahmad dan Dawud ath-Thayalisi].

3. Hadis Abu Hurairah r.a.:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ مَا صُمْنَا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تِسْعًا وَعِشْرِينَ أَكْثَرُ مِمَّا صُمْنَا ثَلاثِينَ

Dari Abu Hurairah r.a. (diriwayatkah bahwa) ia berkata: Kami berpuasa pada masa Rasulullah 29 hari lebih banyak dari berpuasa 30 hari [HR Ibn Majah].

Isi kandungan hadits-hadits tersebut telah diteliti oleh ahli astronomi, dan terbukti bahwa berdasar perhitungan ilmu hisab memang benar. Firdaus bin Yahya, dari Islamic Religiuos Council Singapura, telah melakukan analisis astronomi terhadap usia bulan Ramadan di zaman Rasulullah shallallhu ‘alaihi wa sallam dalam tulisannya, “An Analytical Study of Beginning and End of Ramadan During Prophet Muhammad’s Time.” Kesimpulannya, Secara ilmu Hisab, hanya 4 kali dari 10 kali Puasa Ramadhan yang dilakukan oleh Rasulullah shallallhu ‘alaihi wa sallam yang berkemungkinan dilakukan selama 30 hari, yaitu pada tahun 2, 3, 4 dan 10 Hijriyah. Dari empat kali kemungkinan tersebut, hanya pada tahun 10 Hijriyah yang diyakini Ramadhannya selama 30 hari.

8. Usulan Dibentuknya Kalender Hijriyah Terpadu
Pada akhir 1970-an Mohammad Ilyas, salah astronom Muslim Malaysia, menawarkan gagasan tentang perlunya Kalender Islam Internasional. Ia menggagas konsep "garis qamari antar bangsa" atau biasa diistilahkan International Lunar Date Line (ILDL).

Gagasan Ilyas ini kemudian direspons oleh para ahli di dunia Islam, pertemuan-pertemuan berskala nasional maupun internasional diselenggarakan dalam rangka mewujudkan kalender hijriah terpadu. Sejauh ini banyak konsep-konsep kalender internasional yang ditawarkan oleh para ahli di bidang ini, namun Hisab ‘Urfi tidak masuk dalam agenda pembahasan para ahli karena banyak ahli menyatakan bahwa Kalender ‘Urfi tidak layak dijadikan panduan ibadah.

Hingga sekarang perbedaan itu semakin mengerucut, dan dapat dikatakan bahwa usulan bentuk-bentuk kalender itu kini mengerucut ke dalam dua orientasi pokok :

Pertama: Kalender Bizonal
Yaitu kalender yang membelah bumi menjadi dua bagian: zona timur dan zona barat. Pada masing-masing zona berlaku kalender sendiri-sendiri, yang pada bulan tertentu mungkin saja terjadi perbedaan tanggal. Apabila hilal terlihat di satu zona, maka zona itu masuk bulan baru, sedangkan zona di timurnya ditunda satu hari karena hilal belum tampak di situ. Namun bisa juga terjadi satu hari satu tanggal pada dua zona berbeda ini, yaitu apabila hilal sudah terlihat di zona timur, sebab Hilal semakin ke barat semakin mudah diru`yah, jadi bila hilal telah bisa diru`yah di zona Timur, pasti zona barat juga bisa. Contoh kalender bizonal ini adalah kalender yang diusulkan oleh Muhammad ‘Audah (Odeh), yang membagi dunia pada dua zona: Barat, yaitu seluruh Benua Amerika, dan Timur, yaitu selain Benua Amerika.

Namun opsi ini dirasa masih kurang. Sebagian masih tidak menyetujuinya. Diantara alasannya adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Syamsul Anwar, kalender ini tidak dapat menyatukan umat Islam terutama menyangkut hari-hari ibadah, antara lain hari Arafah yang akan menimbulkan pertanyaan kapan puasa Arafah dilakukan. Selain itu kalender ini tidak sejalan dengan situasi globalisasi sekarang dimana hubungan antar benua sudah sangat inten, sehingga harus ada kesamaan penanggalan.

Kedua: Kalender Qamariah Islam Terpadu
Kalender Qamariyah Islam Terpadu (at-Taqwim al-Qamari al-Islami al-uwahhad), dikonsep oleh Jamaluddin ‘Abd ar-Raziq dari Maroko.

Kalender ini menetapkan tujuh syarat bagi dirinya sendiri, yaitu:
(1) syarat “kalender”, yaitu memposisikan hari dalam aliran waktu secara tanpa kacau: satu hari satu tanggal dan sebalikya,
(2) syarat bulan qamariah, yaitu berdasarkan peredaran faktual Bulan (qamar) di langit,
(3) syarat kelahiran Bulan, tidak boleh masuk bulan baru sebelum kelahiran Bulan, khususnya bagi kawasan ujung timur, kecuali zona waktu GMT + 14 jam, yaitu bagian Kepulauan Kiribati yang terketak di sebelah timur Garis Tanggal Internasional, dan yang di sana terletak titik K [φ = 10° LS dan λ = 151° BB, ada pembelokan garis tanggal] yang menandai tempat pertama terbit fajar hari tertentu di dunia.
(4) syarat imkanu ru`yah, yaitu untuk masuk bulan baru harus hilal terlihat, khususnya bagi kawasan ujung barat yang memiliki peluang pertama ru`yah,
(5) syarat tidak boleh menunda, tidak boleh menunda masuk bulan baru ketika hilal telah terlihat secara jelas dengan mata telanjang,
(6) syarat penyatuan, yaitu berlaku di seluruh dunia,
(7) syarat globalitas, yaitu sejalan dengan kesepakatan dunia tentang waktu.

Intinya, ada tiga prinsip dalam kalender ini:

a. Prinsip Hisab
Hal itu adalah karena tidak mungkin membuat kalender dengan ru`yah, karena kalender harus dibuat untuk waktu jauh ke depan. Yang dimaksud istilah “bisa di ru`yah” di sini adalah memungkinkan untuk di ru`yah secara perhitungan hisab, walaupun tidak dapat diru`yah secara kasat mata.

b. Prinsip Transfer Ru`yah
Apabila terjadi ru`yah di kawasan ujung barat (hilal semakin ke barat semakin mudah diru`yah), maka ru`yah itu ditransfer ke timur untuk diberlakukan bagi kawasan ujung timur, meskipun di situ belum mungkin ru`yah, dengan ketentuan kawasan ini telah mengalami konjungsi sebelum pukul 00.00 waktu setempat, kecuali kawasan GMT + 14 jam, terhadapnya berlaku konjungsi sebelum fajar (tempat pertama terbit fajar di dunia).

Ini artinya bahwa apabila di Samoa Barat (waktu GMT – 11 jam dan selisih waktunya dengan Jakarta 18 jam) terlihat hilal misalnya pukul 18.00 sore Kamis seperti Idul Fitri lalu, 1428 H (menurut hisab imkanu ru`yah, hilal di Samoa Barat dapat terlihat dengan mata telanjang secara agak sukar) dan di Jakarta saat itu sudah hari Jumat pukul 14.00 siang, maka ru`yah Kamis sore di Samoa itu diberlakukan untuk orang Indonesia, sehingga mereka berlebaran hari Jumat, meskipun pada saat berlebaran pukul 6 pagi Jumat itu ru`yah Kamis sore di Samoa belum terjadi karena di sana waktu itu baru pukul 10.00 pagi dan masih harus menunggu 8 jam lagi untuk waktu ru`yah. Ini dengan ketentuan di Indonesia telah terjadi konjungsi, agar orang Indonesia yang terletak di kawasan ujung timur tidak masuk bulan baru sebelum Bulannya lahir.

c. Prinsip Bulan Baru Dimulai Apabila Konjungsi Terjadi Dalam Waktu 24 Jam Pertama Hari Universal.
Berhubung imkan ar-ru`yah tidak memberikan definisi hari dari mana ia mulai dan kapan, maka diperlukan satu kriteria hisab yang pasti dan yang dapat menghindarkan campur tangan manusia dalam logika kalender dan sekaligus memberikan batas pertukaran hari.

Prinsip ini adalah bahwa bulan baru dimulai di seluruh dunia apabila konjungsi terjadi dalam waktu 24 jam pertama Hari Universal. Hari Universal adalah hari yang dimulai tengah malam di Garis Bujur Timur 180° dan bergerak ke barat hingga berakhir tengah malam berikutnya di Garis Bujur Barat 180°, yang rentang waktunya adalah 48 jam.

Dalam formulasi lain dikatakan juga: apabila konjungsi terjadi dalam periode pagi (antara pukul 00.00 dan pukul 12.00 GMT/UT), maka keesokan harinya adalah bulan baru; dan apabila konjungsi terjadi pada periode petang (antara pukul 12.00 dan pukul 00.00 GMT/UT), maka keesokan hari dianggap sebagai hari terakhir bulan berjalan, bulan baru dimulai lusa. Terjadinya konjungsi periode pagi paling lambat sebelum pukul 12.00 tengah hari GMT/UT untuk esok harinya dipandang sebagai bulan baru artinya kawasan ujung timur yang terletak pada zona waktu GMT + 12 (yaitu di perbatasan Garis Tanggal Internasional) akan mengalami pergantian bulan apabila konjungsi di sana terjadi sebelum pukul 00.00 waktu setempat. Ini semua menjelaskan batas hari dan tempat di mana ia mulai, yakni sama dengan kesepakatan internasional. Alasannya adalah bahwa dalam masalah ini kita tidak mungkin menyimpang dari kesepakatan dunia dan lagi pula menjadikan batas pergantian hari/tanggal adalah pergantian siang dengan malam (pada saat terbenamnya matahari terakhir bulan berjalan) tidak memberikan sifat kepastian yang diperlukan oleh suatu kalender, karena waktu terbenamnya matahari berubah terus setiap hari.

9. Problematika Kalender Terpadu Hijriyah
Ada beberapa problem yang dihadapi Kalender Terpadu Hijriyah yang diusulkan ini, diantaranya :
- Prinsip “kalender” ini berhadapan dengan prinsip lain yang dipertahankan sebagian orang, yaitu prinsip ru`yah. Prinsip ini menghendaki memulai bulan baru harus berdasarkan penampakan hilal, padahal penampakan hilal itu terbatas di muka bumi.
- Prinsip ini juga bisa dipertentangkan dengan hadits Riwayat Muslim dari Sahabat Kuraib radhiyallahu ‘anhu, yang bisa dijadikan landasan bahwa Perbedaan penetapan awal bulan adalah hal yang lumrah secara syar’i (lihat tulisan saya: ”Tahun Baru Hijriyah”, pada poin C, juga ”Penentuan Ramadhan, Iedul Fitri dan Iedul Adha”, pada poin C, Masalah Kedua)

10. Sekilas Jawaban Terhadap Masalah
Untuk menjawab permasalahan yang mengganjal tentang Kalender Hijriyah ini, khususnya tentang dua permasalahan di atas, di sini akan coba saya jawab:

1. Tentang Ru`yah
Tentang pertentangan ru`yah dan hisab sudah pernah saya bahas sekilas dalam ”Penentuan Ramadhan, Iedul Fitri dan Iedul Adha”, pada poin C, Masalah Pertama. Namun untuk lebih jelasnya, mungkin perlu sedikit diuraikan lagi secara ringkas namun dengan sedikit tambahan :

  1. Memang benar, bahwa Rasulullah bersabda:


صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَافْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ

Shuumuu li ru`yatihi wafthiruu li ru`yatihi…
“berpuasalah kalian karena melihat bulan (tanggal 1 Ramadhan) dan berbukalah (Iedul Fitri) karenanya melihatnya (tanggal 1 Syawwal)… “

Inilah biasanya yang menjadi pegangan utama mereka yang mewajibkan ru`yah sebagai patokan. Namun:
1. Apakah lafaz “ra`a” dalam hadits tersebut bermakna “melihat” dalam artian melihat langsung dengan mata telanjang, atau bisa diartikan “mengetahui” (‘alima)? Dalam hadits lain, Rasulullah bersabda: “Barangsiapa diantara kalian melihat kemungkaran maka hendaklah ia merobahnya dengan tangannya, … dst”. Lafaz “ra`a” dalam hadits ini menurt syarah-syarah hadits artinya adalah “mengetahui”. Untuk mengetahui tidak mesti harus dengan melihat langsung.
2. Apakah ini menunjukkan bahwa penentuan awal bulan itu harus dengan ru`yah dan tidak boleh dengan cara lain walaupun ternyata cara itu lebih efektif? Jika ru`yah (melihat) kita fahami sebagai sarana unyuk mengetahui ada atau tidaknya hilal dan bukan tujuan itu sendiri, maka tentunya apapun sarana yang bisa mencapai pada tujuan, sebenarnya bisa saja digunakan, selama sarana tersebut tidak terlarang dan tujuannya dapat tercapai.
  1. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda: ”Kami adalah kaum yang ummi, tidak pandai menulis juga menghitung (peredaran bulan)...”. hadits ini menunjukkan bahwa alasan mereka melihat bulan secara langsung (ru`yah) adalah karena ketidak mampuan itu, bukan karena memang harus seperti itu, dan bukan karena hisab itu cara yang terlarang.
Yusuf Al-Qardhawi mengatakan bahwa ”hisab” disebut bersama-sama dengan ”baca-tulis” berarti bila hadis itu melarang hisab, berarti juga melarang baca tulis! Apa itu logis? (Kaifa Nata’ammal Ma’a as-Sunnah an-Nabawiyyah, 1991: 152)
  1. Tidak ada satupun nash yang melarang atau mengindikasikan larangan penggunaan hisab dalam perhitungan waktu.
  2. Bahkan, yang ada adalah nash Al-Qur`an yang menyiratkan bahwa hisab itu boleh sebagai penghitung waktu, umpamanya dalam Q.S. Yunus:5 : supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu)” dan Q.S. Ar-Rahman:5 : “Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan”.
  3. Jika telah jelas bahwa ru`yah hanyalah cara untuk mengetahui wujudnya hilal, dan ada cara lain untuk mengetahui wujudnya hilal yaitu dengan ilmu hisab, dan cara itu juga tidak terlarang, maka sekarang mari kita bandingkan, cara mana yang lebih baik dan dapat mencapai pada maksud yang dituju: Apakah dengan cara melihat langsung dengan mata telanjang ataukah dengan ilmu? Dalam hal ini, mengetahui dengan ilmu ternyata lebih akurat daripada melihat dengan mata.

Informasi mata adakalanya menipu, umpamanya sebuah pensil yang lurus bila dimasukkan ke dalam air maka akan terlihat patah/ bengkok. Maka, ru`yah dengan mata telanjang sifatnya masih ijtihadi, karena itu sangat mungkin terjadi perbedaan penetapan awal bulan yang berbeda untuk masing-masing negeri yang berbeda jika asas pondasinya adalah hal yang bersifat ijtihadi

2. Tentang Hadits Kuraib radhiyallahu ‘anhu
(Lafaz hadits lihat: ”Penentuan Ramadhan, Iedul Fitri dan Iedul Adha”, pada poin C, Masalah Kedua). Hadits ini adalah peristiwa yang terjadi pada masa setelah wafatnya Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam, namun kedudukan hadits ini marfu’ karena oleh Ibnu Abbas disandarkan kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Beliau berkata: demikianlah kami diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”.

Hadits ini pernah saya utarakan untuk membantah seorang anggota HT yang berpendapat keharusan ru’yah seluruh dunia. Dia membantah hadits itu dan berkata bahwa perbedaan tersebut mungkin saja adalah implikasi dari pertikaian politik ketika itu. Namun saya jawab, bahwa dengan tegas Ibnu Abbas menyebutkan bahwa itu memang perintah Rasul, bukan karena masalah politik. Sangat tidak mungkin para sahabat radhiyallahu ‘anhum bertikai dalam hal ini hanya karena masalah perbedaan pandangan politik, sebagaimana yang terjadi pada masa sekarang ini.

Namun saya sempat bingung juga ketika ditanya: apa yang dimaksud dengan perkataan Ibnu Abbas tersebut? Saya berfikir kemudian: apakah hal tersebut memang juga pernah terjadi pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?

Menurut saya, hadits tersebut bisa difahami dari sudut pandang lain. Maksud Ibnu Abbas dalam perkataan tersebut menurut saya adalah bahwa ru’yahnya penduduk Madinah adalah hal yang sifatnya Ijtihadi, demikian pula ru`yahnya Kuraib ketika berada di Syam adalah hal yang bersifat Ijtihadi, sehingga suatu ijtihad tidak bisa digugurkan dengan ijtihad yang lain, dan hal ijtihadi ini pernah terjadi pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, contohnya adalah perintah beliau :

Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Ketika selesai perang Ahzab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berseru kepada kami: Tidak ada seorang pun yang salat Zuhur kecuali di daerah Bani Quraidhah! Orang-orang yang khawatir tertinggal waktu salat, mereka segera shalat sebelum tiba di daerah Bani Quraidhah. Tetapi yang lain mengatakan: Kami tidak akan melakukan salat kecuali di tempat yang telah diperintahkan oleh Rasulullah saw. walaupun waktu salat berlalu. Ternyata Rasulullah saw. tidak menyalahkan keduanya. (H.R. Muslim)

Menurut saya, demikianlah maksud dari riwayat tersebut. Hal ini juga terkait dengan pembahasan sebelumnya pada poin 1 tentang ru`yah.

Demikianlah pendapat saya dalam hal ini, setidaknya untuk sementara ini. Ini hanyalah semata pendapat saya, jadi silahkan didalami dan dikritisi lagi oleh para ahli. Tulisan ini sekaligus juga menjadi koreksi beberapa poin tertentu bagi dua tulisan saya sebelumnya: “Penentuan Ramadhan, Iedul Fitri dan Iedul Adha” dan ”Tahun Baru Hijriyah”. Wallahu a’lam.

-------------------------------------
Keterangan Imkan ar-Ru`yah :
- Hilal dapat dilihat dengan mata telanjang secara jelas minimal W=0,1’ dan ACRV=12,2°;
- Untuk dapat dilihat dengan alat optik tetapi bisa juga dengan mata telanjang hanya agak sukar minimal W=0,1’ dan ACRV=8,5°
- Untuk dapat dilihat dengan alat optik minimal W=0,1’ dan ACRV=5,6° (‘Audah, 2007: 22).
W= Crescent’s with / Samk al-Hilal / Lebar Hilal
ARCV= Arc of Vision / Qaus ar-Ru`yah / Busur Ru`yah

----------------------------------------
Referensi:
- Abu Umar Al-Banjary, Penentuan Ramadhan, Iedul Fitri dan Iedul Adha”, ( http://jukunglarut.blogspot.com/2009/08/penentuan-ramadhan-iedul-fithri-dan.html )
- Idem, ”Tahun Baru Hijriyah”, (http://www.facebook.com/az.albanjary?v=app_2347471856&ref=name#/note.php?note_id=201531111733 )
- Susiknan Azhari, “Kalender Hijriyah Terpadu”, (http://www.ahmadheryawan.com/opini-media/pendidikan/7258-kalender-hijriah-terpadu.html )
- Dr. H. Syamsul Anwar, M.A., “Almanak Berdasarkan Hisab Urfi Kurang Sejalan Dengan Sunnah Nabi SAW”, (http://www.muhammadiyah.or.id/downloads/Almanak_Hijriah.pdf )
- Idem, “Rukyat Saudi, Puasa Arafah dan Mendesaknya Pembuatan Kalender Islam Terpadu”, (http://www.muhammadiyah.or.id/downloads/PENJELASAN_Syamsul_Anwar.pdf )


Share/Save/Bookmark

0 Comments: