21 November 2009

Piagam Jakarta Sebagai Solusi

SIFAT AGAMA AL-ISLAM

Islam adalah agam yang syaamil (komplit). Urusan yang kecil dan remeh menurut pandangan manusia saja, semisal cara masuk WC dan cara pakai alas kaki, diatur dalam Islam, apalagi urusan-urusan yang besar. Islam tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Allah, tapi juga mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia, hubungan manusia dengan benda dan alam semesta, hubungan manusia dengan makhluk-makhluk yang lain, serta sikap manusia terhadap dirinya sendiri. Hal ini bahkan diakui oleh orang-orang non muslim yang dapat melihat dengan pandangan yang adil. Seorang orientalis, H.A.R. Gib mengatakan: “Islam is much more than a religious system. It is a complete civilization”. Islam itu adalah lebih dari sistem peribadatan. Ia itu adalah suatu kebudayaan/ peradaban yang lengkap dan sempurna.

Tidak hanya bersifat komplit, Islam juga bersifat sempurna. Allah berfirman dan Q.S. Al-Ma`idah ayat 3 (yang terjemahnya): “pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu”.

Islam dan aturan-aturannya juga bersifat tetap, karena Muhammad SAW. Adalah Nabi sekaligus Rasul terakhir yang diutus oleh Allah untuk segenap umat manusia sampai akhir masa. Allah berfirman dalam Q.S. Al-Ahzab ayat 40 (yang terjemahnya): “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi Dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu”.

Islam dan aturan/ajarannya tidak berobah disebabkan perobahan waktu. Islam tidak akan pernah ketinggalan jaman. Ini berbeda dengan aturan buatan manusia. M. Abdul Alim Shiddiqi menyatakan: “Pengetahuan manusia terbatas pada yang terjadi sekarang dan sedikit tentang yang telah lalu. Oleh karena itu, hukum apa saja pun yang dapat dibuat manusia tentang kehidupan insani didasarkan pada pengalaman masa lalu, tetapi ia sama sekali tidak tahu apa yang akan terjadi di masa yang akan datang, karena pengalaman manusia tidak meliputi masa depan. Oleh karena itu hukum buatan manusia demikian berkekurangan, sehingga generasi sekarang ini merasa perlu untuk memperbaiki hukum-hukum yang dibuat pada waktu-waktu yang lalu... Tetapi pengetahuan dan kebijaksanaan Pencipta alam semesta meliputi masa lalu, kini dan kelak dan Ia Maha Mengetahui hakikat manusia. Oleh karena itu Ia yang paling patut menentukan hukum-hukum yang akan berguna bagi seluruh umat manusia pada setiap masa, waktu lalu, sekarang dan yang akan datang. Sebab itu maka hanya hukum Nya lah yang sempurna yang tidak dapat diubah-ubah”.

Kata “Islam” sendiri berasal dari kata ( ﺳﻼﻣﺔ - ﻳﺴﻠﻢ - ﺳﻠﻢ ) yang artinya “selamat/ damai”. Salah satu sifat agama Islam adalah menyelamatkan dan membawa kedamaian. Keselamatan dan kedamaian baru bisa dicapai oleh manusia bila mereka tunduk dan patuh kepada Allah, namun sebaliknya bila mereka ingkar (kufur) maka Allah akan menyiksa mereka (lihat Q.S Al-A’raf, ayat 96). Kata “Islam” berasal dari fi’il madhi ﺳﻠﻢ" " yang kemudian mendapat tambahan satu huruf hamzah sehingga menjadi ( ﺇﺳﻼﻤﺎ - ﻳﺴﻠﻢ - ﺃﺳﻠﻢ ) yang berarti “tunduk/ menyerah diri”.


TUNTUTAN MELAKSANAKAN SYARI’AT ISLAM

Melihat pada sifat-sifat agama Islam di atas, maka sudah jelas bahwa menerapkan Islam dalam segala aspek kehidupan adalah suatu keharusan. Selain itu lebih banyak lagi perintah-perintah Allah dan Rasul-Nya yang memerintahkan umat Islam agar menjalankan apa yang diperintahkan Allah dan Rasulnya. Umpamanya perintah Allah dalam Q.S. Al-Hasyr, ayat 57 (yang terjemahnya): “apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya”. Dan dalam Q.S. Al Ma`idah, Allah berfirman (yang terjemahnya) “...Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”. (ayat 44); “...Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim”. (ayat 45); “...Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik”. (ayat 47)


UPAYA PENERAPAN SYARI’AT ISLAM DI INDONESIA

Sebelum Belanda datang ke Indonesia, Syari’at Islam sebenarnya telah diterapkan di kesultanan-kesultanan Islam di Nusantara. Umpamanya Nuruddin ar-Raniri menulis buku “Sirathal Mustaqim” pada tahun 1628. meurut Hamka, kitab yang ditulis oleh ar-Raniri adalah kitab hukum Islam pertama yang disebarkan ke seluruh Indonesia. Kitab itu kemudian diperluas dan diperpanjang uraiannya oleh Muhammad Arsyad Al-Banjary dengan judul “Sabilal Muhtadin”. Buku tersebut kemudian dijadikan pegangan dalam menyelesaikan antar umat Islam di daerah Banjar. Disamping itu, di kesultanan Palembang dan Banten terbit pula kitab hukum Islam yang ditulis oleh Syekh Abdu Samad dan Syekh Nawawi al-Bantani yang kemudian dijadikan pegangan umat Islam dalam menyelesaikan masalah yang mereka hadapi. Di beberapa kerajaan, seperti Demak, Jepara, tuban, Gresik, Ngampil dan Mataram, umat Islam juga melaksanakan hukum Islam yang dibuktikan dengan karya para pujangga pada waktu itu, antara lain Sajinatul Hukum.

Bukti lain adalah keputusan Wali Songo yang memutuskan menghukum mati Syekh Siti Jenar karena dianggap sebagai pengikut dan penyebar paham sesat (wihdatul wujud). Sultan Iskandar Muda menerapkan hukum rajam terhadap putranya sendiri yang bernama Meurah Pupok yang berzina dengan istri seorang perwira. Masih banyak lagi bukti-bukti lainnya (lihat: Hizbut Tahrir Indonesia, “Jejak Syariah dan Khilafah di Indonesia”, HTI Press, Februari 2007).

Ketika Belanda datang dan menjajah Indonesia, mereka tidak hanya menjajah secara fisik, namun juga memberengus budaya Islam yang sudah mengakar di Indonesia dan berupaya menanamkan millah mereka kepada Rakyat Indonesia. Tiga abad lebih upaya penjajah ini berlangsung sehingga tidak heran kalau jejak-jejak syari’at Islam di Indonesia seakan lenyap begitu saja. Umat Islam di Indonesia merindukan penerapan kembali syari’at Islam di Indonesia. Upaya ini mendapat tantangan yang keras dari non muslim (khususnya Kristen, yang ajarannya dibawa oleh penjajah Belanda) dan kaum sekuler yang “terlalu banyak makan keju Belanda”. Buah dari perjuangan ini lahirlah Piagam Jakarta sebagai hasil kompromi pihak Islam, Nasionalis sekuler dan non muslim (kristen) dalam Panitia sembilan BPUPKI.


LAHIRNYA PIAGAM JAKARTA

Pada tanggal tanggal 29 April 1945, bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Hirohito, pemerintah Jepang saat itu membentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau BPUPKI (Dokuritsu Junbi Cosakai) Badan ini dibentuk sebagai upaya pelaksanaan janji Jepang mengenai kemerdekaan Indonesia. Di luar anggota BPUPKI, dibentuk sebuah Badan Tata Usaha (semacam sekretariat) yang beranggotakan 60 orang. Badan Tata Usaha ini dipimpin oleh R.P.Soeroso, dengan wakil Abdoel Gafar Pringgodigdo dan Masuda (orang Jepang). Sampai akhir rapat pertama, masih belum ditemukan kesepakatan untuk perumusan dasar negara, sehingga akhirnya dibentuklah panitia kecil untuk menggodok berbagai masukan. Panitia kecil beranggotakan 9 orang dan dikenal pula sebagai Panitia Sembilan dengan susunan sebagai berikut:

Ir. Soekarno (ketua), Drs. Moh. Hatta (wakil ketua), Mr. Achmad Soebardjo (anggota), Mr. Muhammad Yamin (anggota), K.H. Wachid Hasyim (anggota), Abdul Kahar Muzakir (anggota), Abikoesno Tjokrosoejoso (anggota), H. Agus Salim (anggota), Mr. A.A. Maramis (anggota)

Setelah melakukan kompromi antara 4 orang dari kaum kebangsaan (nasionalis) dan 4 orang dari pihak Islam, tanggal 22 Juni 1945 Panitia Sembilan Piagam Jakarta (Jakarta Charter) yang berisikan:

a. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya

b. Kemanusiaan yang adil dan beradab

c. Persatuan Indonesia

d. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan

e. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia


PENGKHIANATAN TERHADAP KESEPAKATAN

Namur sayang, tanpa alasan yang jelas, tujuh kata dalam piagam Jakarta tersebut dihapus sehari setelah kemerdekaan diproklamasikan (tangal 18 Agustus 1945). Seperti diketahui, selama ini cerita seputar penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta –yaitu “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”– didominasi oleh cerita versi Bung Hatta tentang kedatangan opsir Kaigun (AL Jepang) yang mengaku membawa mandat kaum Nasrani dari Indonesia Timur. Dalam bukunya, Sekitar Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Bung Hatta menulis bahwa:

“…wakil-wakil Protestan dan Katolik dalam kawasan Kaigun berkeberatan sangat atas anak kalimat dalam Pembukaan UUD yang berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Walaupun mereka mengakui bahwa anak kalimat tersebut tidak mengikat mereka, dan hanya mengikat rakyat yang beragama Islam, namun mereka memandangnya sebagai diskriminasi terhadap mereka golongan minoritas…Kalau Pembukaan diteruskan juga apa adanya, maka golongan Protestan dan Katolik lebih suka berdiri di luar Republik.” (Dikutip dari Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945: Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), (Jakarta: GIP, 1997), hal. 50-51. 1949).

Selanjutnya, Hatta mengaku mengajak sejumlah tokoh Islam untuk membicarakan masalah tersebut. Dan ia menyatakan: “Supaya kita jangan terpecah sebagai bangsa, kami mufakat untuk menghilangkan bagian kalimat yang menusuk hati kaum Kristen itu dan menggantinya dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”. (Ibid, hal. 51).

Pengakuan Hatta itu belakangan ini mulai digugat. Benarkah ada orang Jepang yang datang ke Hatta? Apakah itu bukan cerita yang dikarang oleh Hatta sendiri? Tahun 1997, Universitas Indonesia Press menerbitkan satu buku berjudul “Lahirnya Satu Bangsa dan Negara”, yang diberi kata sambutan oleh Presiden Republik Indonesia, Soeharto. Dalam buku ini, para pelaku peristiwa seputar kemerdekaan, menuturkan cerita yang berbeda dengan versi Hatta. Menurut mereka, ada tiga orang mahasiswa yang datang ke Bung Hatta menjelaskan masalah Piagam Jakarta, yaitu Piet Mamahit, Moeljo, dan Imam Slamet (Tan Tjeng Bok). Wajah Imam Slamet seperti orang Cina, badannya pendek, jadi mirip orang Jepang.

Menurut buku ini, Hatta setuju untuk menerima usulan perubahan Piagam Jakarta, khususnya yang menyangkut tujuh kata tersebut. Juga disebutkan, bahwa Nishijima, ketika datang ke Jakarta kemudian, juga mengaku, tidak ada orang Jepang yang datang ke Hatta, sejak Proklamasi.

Endang Saifuddin Anshari dalam bukunya tentang Piagam Jakarta juga menceritakan, bahwa Hatta mengaku bahwa pada pagi tanggal 18 Agustus 1945, dia mengajak berembuk dengan empat tokoh, yaitu Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, Teuku M. Hasan, dan Wachid Hasjim. Tapi, terbukti kemudian, bahwa Wachid Hasjim tidak ada di Jakarta ketika itu, karena sedang dalam perjalanan ke Jawa Timur. Jadi, masih banyak yang perlu diklarifikasi dalam sejarah seputar Piagam Jakarta. Hussein Umar pun, dalam pembukaan seminar ”Memperingati 61 Tahun Piagam Jakarta” (Gedung Menara Dakwah, Jalan Kramat Raya 45, tanggal 22 Juni 2006) menunjukkan satu disertasi doktoral di Fakultas Hukum UI, yang juga mengungkap cerita lain seputar Piagam Jakarta.


SABOTASI UPAYA REHABILITASI PIAGAM JAKARTA

Mengembalikan Piagam Jakarta sangat kukuh diupayakan para politisi Islam. Dalam Pemilu tahun 1955, Parpol Islam menguasai kira-kira 40% kursi parlemen (Masjumi 20,54%, NU 18,47%, PSII 2,80% suara). Namun jumlah suara tersebut belum cukup untuk meng-goal-kan kembalinya Piagam Jakarta. Setelah empat kali voting yang digelar pada 22 April, 30 Mei, 1 Juni dan 2 Juni 1959, kourum tiga per empat suara parlemen yang dibutuhkan untuk pengesahan ini tidak juga tercapai. Upaya kekuatan Islam untuk merehabilitasi Piagam Jakarta pada Sidang Majelis Konstituante 1959 akhirnya disabotase oleh Presiden Soekarno dengan menerbitkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Gagal lah usaha tersebut.

Ketika Dekrit dikeluarkan, Dewan Konstituante sebenarnya sudah menyelesaikan 90 persen draft konstitusi. Dengan melansir Dekrit, Presiden Soekarno dengan demikian tidak hanya melantakkan separuh dari hasil Pemilu 1955, melainkan juga membuat 90 persen draft konstitusi Indonesia yang dibahas Konstituante sejak 1956 hanya menjadi tak lebih dari sehelai arsip. Soekarno melakukan itu dalam sekali hentak. Soekarno sudah jauh-jauh hari menunjukkan hasrat memberlakukan kembali UUD 1945. Keinginan itu makin tampak masuk akal setelah Dewan Konstituante gagal menemukan kosensus menyusul kegagalan memenuhi kuorum tiga perempat suara dalam empat kali voting.

Turut bertanggung jawab atas keluarnya dekrit tersebut adalah Jenderal A.H. Nasution dan Soewirjo (Ketua Umum PNI). Militer Indonesia dan Soewirjo mengirim kawat kepada Soekarno yang sedang melawat ke Jepang. Kawat itu menyarankan agar Presiden Soekarno langsung mendekritkan saja pemberlakuan kembali UUD 1945.

Sebagian kalangan konstituante tidak setuju dengan dekrit ini, termasuk Wilopo (ketua, dari PNI) dan Prawoto Mangkusasmito (wakil, dari Masjumi). Kedua tokoh ini telah sepakat untuk menyelesaikan masalah dasar negara dalam penyusunan undang-undang yang baru , sehingga pekerjaan yang tinggal 10% ini akan segera bisa diatasi. Target penyelesaian kerja mereka paling lambat bulan Maret 1960. namun walaupun begitu, sebagai warga negara yang sadar hukum mereka mematuhi dekrit ini meskipun tidak menyetujuinya.

Memasuki era reformasi, UUD 45 memang mengalami amandemen. Hingga ini telah diamandemen sebanyak 4 kali, yakni pada tahun 1999 hingga yang terakhir tahun 2002. mandemen itu menimbulkan kontroversi. Ada yang menginginkan kembali ke UUD 45 yang asli (versi Dekrit). Sebagian lagi ingin mempertahankan UUD yang sudah diamandemen yaitu UUD 2002, dan ada yang menginginkan UUD yang sudah diamandemen ini diamandemen kembali untuk kelima kalinya. Untuk yang terakhir ini, sebagian mengusulkan amandemen terbatas, dan sebagian lagi amandemen overwhole atau keseluruhan. Sempat pula tercetus usulan mengembalikan Piagam Jakarta, tapi dalam kenyataannya jangankan merehabilitasi Piagam Jakarta, pembahasan amandemen UUD 45 malah sempat menggugat eksistensi Pasal 29 yang menegaskan landasan ketuhanan bangsa. Amandemen berikutnya cenderung semakin liar. UUD Amandemen 2002 adalah kran awal dari intervensi asing dalam perundang-undangan (Al Wa’ie No70 Tahun VI, 1-30 Juni 2006).


KEKECEWAAN DEMI KEKECEWAAN

Penghapusan Piagam Jakarta yang tanpa alasan yang nyata adalah awal kekecewaan kaum Muslimin Indonesia pasca kemerdekaan. Kekecewaan demi kekecewaan terus bergulir dan memuncak melahirkan perlawanan yang bersifat fisik. Kekecewaan tidak hanya berkisar pada keengganan pemberlakuan syari’at oleh pemerintah yang sekuler yang terus berupaya menjegal upaya penerapannya, namun juga pada sikap politik pemerintah kepada Umat Islam yang sangat antipati serta sikap politik pemerintah yang tidak punya ketegasan terhadap imperialis kafir. Islam terus ditekan sementara penjajah disanjung-sanjung.

Perlawanan DI/TII umpamanya, bermula dari perjanjian Renville yang menyebutkan bahwa wilayah Indonesia hanya tinggal Yogya dan sekitamya saja. pada waktu itu nyaris Negara Kesatuan Republik Indonesia sudah tidak ada lagi. Yang ada hanyalah negara-negara serikat, baik yang sudah terbentuk, atau pun yang masih dalam proses melengkapi syarat-syarat kenegaraan. Seperti Jawa Barat, ketika itu dianjurkan oleh Belanda supaya membentuk Negara Pasundan, namun belum terbentuk sama sekali, karena belum adanya kelengkapan kenegaraan Pada saat itulah, Soekarno memerintahkan semua pasukan untuk pindah ke Yogyakarta. Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo menolak perintah tersebut, bahkan bersama pasukannya, ia berusaha mempertahankan wilayah jawa Barat, dan menamakan Soekarno dan pasukannya sebagai pasukan liar yang kabur dari medan perang. RIS tidak lebih seperti negara persemakmuran Belanda, karena mengakui kekuasaan Kerajaan Belanda. Kalau Soekarno menerima perjanjian tersebut dengan Belanda, maka tidak sepantasnya S.M. Kartosuwiryo disebut sebagai pemberontak, karena negara RI hanya tinggal wilayah Yogyakarta waktu itu, sementara Negara Islam Indonesia berada di Jawa Barat dan mengalami ekspansi (pemekaran) wilayah. Daerah Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan dan Aceh mendukung berdirinya Negara Islam Indonesia.

Soekarno menjanjikan keistimewaan khusus kepada Aceh untuk dapat menjalankan Syari’at Islam. Sambil menangis Soekarno berkata kepada Abu Jihad Tgk. Muhammad Daud Beureuh: “Wallah, billah, daerah Aceh nanti akan diberi hak untuk menyusun rumah tangganya sendiri sesuai syari’at Islam. Akan saya pergunakan pengaruh saya agar rakyat Aceh benar-benar dapat melaksanakan syari’at Islam. Apakah Kakak masih ragu?”. Namun bukannya diberikan keistemewaan dan kebebasan menjalankan syari’at, malah secara administratif Aceh digabung di bawah Provinsi Sumatra Utara sehingga Daud Beureh “berontak” dan bergabung dengan DI/TII pada 21 September 1953.

Lahirnya Dekrit tahun 1959 tentu juga melahirkan kekecewaan (karena satu lagi kesempatan memperjuangkan Piagam Jakarta kandas). Dekrit ini tidak hanya membubarkan parlemen, tapi juga melahirkan kediktatoran pemerintahan. Liga Demokrasi (1960, terdiri dari unsur-unsur partai politik , termasuk NU, Masjumi, PSI, Katolik, IPKI) bermaksud meluruskan penyelewengan pemerintah ketika itu, namun Liga Demokrasi dan PSI dibubarkan, sedangkan Masjumi terpaksa bubar.

Muhammad Natsir, seorang tokoh Masjumi dan pejuang Islam, Perdana Mentri R.I periode 5 September 1950 hingga 26 April 1951 yang memperjuangkan pengembalian bentuk negara Republik Indonesia dari RIS (Republik Indonesia Serikat) kepada NKRI, ditangkap karena dituduh terlibat Pemerintahan Revolusionir Republik Indonesia (PRRI)/ Perjuangan Rakyat Semesta tanpa proses pengadilan.

Masih banyak lagi arogansi dan akal-akalan pemerintah yang merugikan umat Islam pasca lahirnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, baik masa Orde Lama maupun Orde Baru, seperti Nasakom yang diperjuangkan Soekarno, pemberlakuan asas tunggal, kebijakan Pengawasan terhadap para muballigh dan penceramah di masa Soeharto, penangkapan para aktivis Islam, hingga kebijakan-kebijakan pemerintah yang lebih menguntungkan orang asing semisal kontrak Freport dan lain-lain.

Ditambah lagi begitu maraknya upaya pemurtadan yang dilakukan oleh pihak non muslim dengan memanfaatkan kemiskinan orang-orang Islam, ajaran-ajaran sesat yang tumbuh bagai jamur di musim hujan, dan gejala-gejala sosial lainnya. Umat Islam seolah tidak punya payung (hukum) dalam derasnya hujan fitnah dan ujian ini, bahkan secuil tempat bernaung umat Islam, Sila Pertama Pancasila dan Pasal 29 UUD 45 coba diotak-atik dan tafsiri yang macam-macam maknanya. Padahal secara resmi diakui oleh Perdana Menteri Juanda bahwa pengaruh Piagam Jakarta tidak mengenai Pembukaan UUD 1945 saja, tetapi juga mengenai Pasal 29 UUD 1945, sehingga perkataan ‘Ketuhanan’ dalam Pembukaan UUD 1945 dapat diberikan arti ‘Ketuhanan dengan kewajiban bagi umat Islam untuk menjalankan syari’atnya sehingga atas dasar itu dapat diciptakan perundang-undangan bagi para pemeluk agama Islam, yang dapat disesuaikan dengan syari’at Islam’.


DAMPAK DAN SOLUSI

Dampak dari pengkhianatan, makar, dan tekanan-tekanan terhadap umat Islam yang ingin menegakkan syari’at Islam, baik oleh pemerintah yang sekuler dan pihak non Muslim di dalam negeri maupun oleh dunia internasional yang dimotori oleh pihak Barat, akhirnya melahirkan perlawanan, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

Sebagian ada yang tetap berupaya memperjuangkan syari’at lewat konstitusi meskipun berjalan sangat lambat, tidak sebanding dengan semakin merajalelanya propaganda orang-orang yang tidak menghendaki syari’at Islam diterapkan. Lahirnya UU Pornografi (yang ditolak keras oleh fraksi PDIP dan PDS yang memang nota bene adalah Nasrani dan sekuler) tidak lepas dari tekanan pihak-pihak Islam yang menginginkan ajaran Islam yang sangat memerangi pornografi dan pornoaksi di terapkan. Walaupun Undang-Undang ini belum memenuhi aspirasi umat Islam sepenuhnya (sehingga HTI Banjarmasin juga menolak karena menganggap UU ini justru justifikasi pornografi), namun setidaknya dengan undang-undang ini dapat meminimalisir kemaksiatan pornografi. Bayangkanlah, untuk yang sedikit ini saja perjuangannya begitu panjang! Maha benar Allah yang berfirman: “Orang-orang Yahudi dan Nashrani itu tidak akan pernah rela sehingga kalian mengikuti millah (ajaran/agama/cara hidup) mereka”.

Sebagian kecil yang lain ada yang berupaya memperjuangkannya secara fisik. Mereka berupaya menghancurkan orang-orang/ kelompok yang menghalang-halangi penerapan syari’at dan memusuhi islam dengan Jihad fisik. Ketika Islam diperangi maka kaum muslimin wajib berjihad membela diri, dan mereka beranggapan saat ini Islam telah diperangi dan dakwah dihalang-halangi, maka kaum muslimin wajib berjihad melawannya, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

Setelah jelas akar permasalahannya, maka penulis menilai bahwa Piagam Jakarta adalah solusi yang paling tepat untuk menyelesaikan berbagai masalah di Indonesia kini dan yang akan datang. Penerapan syari’at akan cukup memuaskan umat Islam sehinnga aksi-aksi yang disebut oleh orang-orang Barat sebagai terorisme tidak akan terjadi di Indonesia. Dengan ditegakkannya syari’at Islam, dijamin negara akan lebih selamat dan damai, karena Islam memang membawa kedamaian dan keselamatan sebagaimana telah disebutkan di depan.

Alasan orang-orang non Muslim menolak Piagam Jakarta sangatlah tidak beralasan. sudah jelas disebutkan dalam tujuh kata dalam Piagam Jakarta tersebut bahwa kewajiban menjalankan syari’at hanya untuk orang Islam, lalu kenapa orang-orang non Islam ambil pusing? Kalau memang dalam agama mereka ada syari’at, silahkan rumuskan dan tuntutlah untuk disahkan menjadi undang-undang juga untuk kalangan mereka sendiri (kalau memang ada, bukan diada-adakan!), umat Islam sangat mendukung tiap pemeluk agama menjalankan ajaran agamanya masing-masing, karena Allah berfirman: “Bagi kalian agama kalian dan bagiku agamaku”. Atau kalau mereka mau ikut syari’at Islam juga tidak dilarang.

Sungguh aneh, mereka yang mengancam memisahkan diri dari NKRI dan berupaya memecah belah bangsa justru tidak ditindak tegas. Republik Maluku Selatan/Serani (RMS) dan Organisasi Papua Merdeka (OPM) sangat jarang terdengar beritanya ditindak pemerintah, namun GAM (sebelum gencatan senjata) justru habis-habisan digencar. DI/TII yang lahir atas keprihatinan sikap pemerintah terhadap Belanda dan PRRI yang lahir karena Nasakom ingin diterapkan soekarno justru di bantai habis, kenapa? Takut sama Amerika? Ketidak adilan dan penindasan pasti akan melahirkan aksi. Wallahu A’lam


Share/Save/Bookmark

0 Comments: