19 Februari 2010

PELARIAN



هُوَ الَّذِي يُسَيِّرُكُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ حَتَّى إِذَا كُنْتُمْ فِي الْفُلْكِ وَجَرَيْنَ بِهِمْ بِرِيحٍ طَيِّبَةٍ وَفَرِحُوا بِهَا جَاءَتْهَا رِيحٌ عَاصِفٌ وَجَاءَهُمُ الْمَوْجُ مِنْ كُلِّ مَكَانٍ وَظَنُّوا أَنَّهُمْ أُحِيطَ بِهِمْ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ لَئِنْ أَنْجَيْتَنَا مِنْ هَذِهِ لَنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرِينَ . فَلَمَّا أَنْجَاهُمْ إِذَا هُمْ يَبْغُونَ فِي الأرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّمَا بَغْيُكُمْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ مَتَاعَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ثُمَّ إِلَيْنَا مَرْجِعُكُمْ فَنُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Dialah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan, (berlayar) di lautan. sehingga apabila kamu berada di dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera itu membawa orang-orang yang ada di dalamnya dengan tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira karenanya, datanglah angin badai, dan (apabila) gelombang dari segenap penjuru menimpanya, dan mereka yakin bahwa mereka telah terkepung (bahaya), Maka mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya semata-mata. (mereka berkata): "Sesungguhnya jika Engkau menyelamatkan Kami dari bahaya ini, pastilah Kami akan Termasuk orang-orang yang bersyukur". Maka tatkala Allah menyelamatkan mereka, tiba-tiba mereka membuat kezaliman di muka bumi tanpa (alasan) yang benar. Hai manusia, Sesungguhnya (bencana) kezalimanmu akan menimpa dirimu sendiri; (hasil kezalimanmu) itu hanyalah kenikmatan hidup duniawi, kemudian kepada Kami-lah kembalimu, lalu Kami kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (Yunus: 22-23)



Berbagai cara Allah mengingatkan hamba-Nya dari kesalahan yang telah mereka lakukan. Salah satunya adalah dengan memberikan ujian, baik yang baik-baik maupun yang buruk: “Dan Kami coba mereka dengan yang baik-baik dan yang buruk-buruk, agar mereka kembali”. (Q.S.7:168)
Dalam pembahasan sebelumnya (Selamat Datang Bencana), juga telah disebutkan, bagaimana segala bencana itu ditimpakan, salah satunya adalah sebagai pengingat dan peringatan agar manusia sadar akan kesalahan-kesalahan mereka.

Dalam ayat di atas, Allah memberikan perumpamaan orang-orang yang diberikan ujian dengan ketakutan. Dengan itu mereka bisa sadar betapa lemahnya mereka, dan betapa mereka sangat membutuhkan ALLAH.

Mungkin, kita menganggapnya itu hanyalah sebuah pelarian. Memang... itu mungkin hanya sebuah pelarian, dan SEBAIK-BAIK TEMPAT PELARIAN ADALAH LARI KEMBALI KE-PANGKUAN-NYA. Jauh lebih baik daripada orang yang diberikan cobaan, namun ia justru mencari pelarian kepada hal yang dimurkai-Nya. Bukankah sering juga kita lihat, orang yang diberikan musibah, namun mereka justru jatuh dalam keputus asaan, minuman keras, bahkan bunuh diri? “Mereka tuli, bisu dan buta , maka tidaklah mereka akan kembali”. (Q.S.2:18)

Satu hal yang harus kita lakukan bila menjumpai orang yang seperti itu: Jangan pernah berkata “tumben” padanya. Jangan bilang tumben pada orang yang tahajud karena ditimpa kesusahan. Jangan bilang tumben pada orang yang rajin ke masjid karena kesumpekannya dengan beban dunia. Jangan katakana tumben pada orang yang khusyu’ berdo’a ketika ditimpa permasalahan.

Tidak jarang, kadang terucap kata “tumben”, tanpa kita sadari dampak dan akibatnya. Boleh jadi, karena perkataan kita itu justru dia menjadi malu, kemudian beralih pada pelarian yang lain. Yang pasti, selain kepada Allah, tidak ada tempat pelarian yang baik.
Tanpa kita sadari, satu kata itu ternyata sudah cukup menjadikan kita orang yang menghalangi saudara sendiri dari kebenaran.

Lalu, apa yang harus kita lakukan? Jadikanlah diri kita sebagai tempat dia berhijrah.

Seseorang yang bertobat, terserah apapun faktor pendorongnya, dianjurkan untuk berhijrah, meninggalkan lingkungan yang penuh kemaksiatan serta pergaulan yang menyesatkan. Saya rasa hadits tentang seseorang yang telah membunuh 100 orang sudah terlalu populer untuk dituliskan di sini. Sang pembunuh dianjurkan untuk berhijrah meninggalkan kampung halamannya. Maka jadilah kita sebagai tempat hijrah baginya. Hadits tentang perumpamaan berteman dengan tukang minyak wangi dan pandai besi, saya yakin juga sudah diketahui oleh kita semua, maka jadilah kita teman yang baik untuknya.

Lalu, bagaimana bila ternyata kita sendiri yang melakukan pelarian itu? Bagaimana bila kita sendiri yang tersadarkan karena ditimpa kesusahan dan musibah? Maka berusahalah untuk tetap istiqamah, walau memang terasa berat. Jangan sampai kita menjadi orang sebagaimana yang digambarkan oleh Allah dalam perumpamaan di atas, setelah lepas dari kesusahan, justru lupa dengan janji semula.

Tidak jarang mungkin kita dapati orang yang berkata tidak ingin lagi bermain-main dengan cinta. Hal ini mungkin terucap karena hatinya telah terluka oleh cinta. Dengan sungguh-sunggguh dia mengatakan bahwa cintanya hanya untuk Allah, namun ketika dia mendapat harapan baru dari seorang laki-laki atau wanita yang mempesona, tetap saja dia pacaran.

Tidak jarang juga mungkin ada yang berkata tobat minum minuman keras dan narkoba karena dia telah sekarat, masuk rumah sakit dan sudah diambang ajal, atau masuk bui. Dia berkata akan serius mengurus keluarga dan tidak akan lagi mabuk dan narkoba. Namun setelah sembuh, keluar dari penjara atau rumah sakit, ternyata tidak tahan juga dengan godaan.

Istiqamah itu memang susah. Namun hendaknya disadari, bahwa Allah telah memberikan kita kesempatan. Allah telah memberikan kita hidayah lewat teguran yang keras. Setelah Allah mengingatkan kita, dan kita sadar serta kembali ke pangkuan-Nya, lalu akankah kita mengulangi keingkaran kita kembali?

Atau mungkin kita termasuk hamba Allah bermental “budak” yang harus dicambuk baru mau sadar? Kalau begitu, tidak salah kalau kita selalu menerima “cambukan” agar kita selalu sadar.

Yang paling kita khawatirkan, justru ketika Sang Pemberi Peringatan sudah merasa “bosan” mengingatkan, maka kita dibiarkan-Nya terjatuh dalam kemaksiatan dan terlena di dalamnya, bahkan kita menyangka bahwa kita dimuliakan-Nya. Na’udzubillahi min dzalik.


Share/Save/Bookmark

0 Comments: