عَنْ ابْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْقُضَاةُ ثَلاَثَةٌ وَاحِدٌ فِي الْجَنَّةِ وَاثْنَانِ فِي النَّارِ فَأَمَّا الَّذِي فِي الْجَنَّةِ فَرَجُلٌ عَرَفَ الْحَقَّ فَقَضَى بِهِ وَرَجُلٌ عَرَفَ الْحَقَّ فَجَارَ فِي الْحُكْمِ فَهُوَ فِي النَّارِ وَرَجُلٌ قَضَى لِلنَّاسِ عَلَى جَهْلٍ فَهُوَ فِي النَّارِ
Dari Ibnu Buraidah, dari bapaknya, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Hakim itu ada tiga (golongan), satu golongan masuk sorga, dan dua golongan masuk neraka :
- Adapun yang bakal masuk sorga adalah, seseorang yang mengetahui kebenaran dan memutuskan dengan dilandasi kebenaran itu.
- Seseorang yang mengetahui kebenaran namun ia mengabaikannya dalam menghukumi, maka ia bakal masuk neraka.
- Seseorang yang memutuskan perkara kepada manusia atas dasar ketidak tahuaannya, maka ia termasuk penghuni neraka. (H.R. Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Dari lahiriyah lafaz hadits dapat diketahui, bahwa barangsiapa yang memutuskan dengan dasar ketidak tahuan, walaupun ternyata keputusannya itu tepat sesuai kebenaran, maka tetap saja ia calon penghuni neraka. Ini berdasar pada kemutlakan lafaz hadits: “Seseorang yang memutuskan perkara atas dasar ketidak tahuaannya, maka ia termasuk penghuni neraka” (‘Aun al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud).
Dari hadits tersebut, dapat kita ketahui intinya, bahwa seorang hakim harus memutuskan perkara dengan dilandasi oleh pengetahuan.
Secara umum, Allah juga telah mengingatkan agar kita tidak mengikuti kecuali apa yang telah kita ketahui :
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”. (Al-Israa`: 36)
Sangat jelas, bahwa hadits tersebut tidak hanya berlaku khusus buat hakim semata, namun secara umum juga berlaku buat kita.
Hakim Bagi Diri Sendiri
Hidup adalah pilihan. Allah sudah memberikan kita potensi, baik untuk mengikuti yang benar ataupun untuk menyimpang. Allah berfirman:
“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu kefasikan dan ketakwaannya”. (Q.S. Asy-Syams: 8)
Allah dan Rasul-Nya pun telah memberikan bimbingan melalui Al-Qur`an dan As-Sunnah agar kita tidak salah jalan. Rasulullah bersabda:
تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ
Telah ku tinggalkan pada kalian dua perkara, kalian tidak akan tersesat selama kalian berpegang teguh dengan keduanya: Kitabullah (Al-Qur`an) dan Sunnah Nabi-Nya (H.R. Malik).
Tidak pernah kurang pula pemberi peringatan di tengah-tengah kita yang selalu mengingatkan kita, sehingga tidak ada alasan bagi kita bahwa dakwah belum sampai kepada kita.
Sekarang tinggal kita yang memutuskan untuk diri kita sendiri:
- Apakah kita mau belajar untuk mengetahuinya dan kemudian memutuskan (mengamabil sikap) sesuai dengan kebenaran ilmu tersebut.
- Ataukah kita sebenarnya mengetahuinya, hanya saja kita tidak mau tahu
- Atau kita sama sekali tidak mau tahu dan berbuat semau kita
Hakim bagi diri sendiri artinya kita sebagai orang yang sudah balig dan berakal yang memutuskan untuk diri kita sendiri apa yang terbaik berdasar segala pertimbangan yang matang dilandasi ilmu, kita yang meng-eksikusi keputusan tersebut dengan melaksanakannya, dan kita pula yang mempertanggung-jawabkan keputusan dan eksekusi tersebut kepada Allah dan masyarakat.
Hakim Bagi Saudara se-Muslim
Dalam Pengadilan Agama di Indonesia, apabila terjadi sengketa, hakim biasanya selalu menawarkan solusi damai dengan musyawarah mufakat sebagai alternative pertama. Bahkan persidangan akan ditunda beberapa kali sekedar memberikan kesempatan kepada pihak-pihak bertikai untuk menyelesaikan kasus secara damai.
Demikianlah sebenarnya ajaran Islam, dan hal ini tidak hanya berlaku dalam persidangan perkara perdata, namun juga berlaku bagi kita kaum Muslimin secara umum. Allah berfirman:
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (Q.S. Al-Hujuraat: 10)
Diantara saudara kita boleh jadi ada yang punya masalah dengan temannya lalu curhat kepada kita. Lalu bagaimana seharusnya sikap kita? Di sini sangat diperlukan kedewasaan sikap, karena kita sedang menjadi hakim bagi saudara kita.
Curhat ada beberapa macam.
Baik curhatan itu sekedar menumpahkan perasaan ataupun disertai minta saran, kita harus berupaya mendamaikan pertikaian itu. Jangan pernah memberikan saran atau arahan yang tidak diperlukan yang justru akan memperkeruh keadaan, apalagi sampai menjadi “kompor” bagi temannya sendiri. Arahan yang diberikan justru bagaimana agar dua saudara yang sedang bertikai itu bisa berdamai sebagaimana telah diamanatkan oleh Al-Qur`an, jika tidak mampu maka lebih baik diam dan jadi pendengar yang baik.
Namun bila kita memang ingin membantu dengan saran yang akan menghasilkan keputusan sikap, maka alangkah baiknya jika mengetahui permasalahan dari kedua belah pihak sehingga tahu duduk persoalannya dan bisa memberikan saran terbaik bagi keduanya.
َقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اشْتَرَى رَجُلٌ مِنْ رَجُلٍ عَقَارًا لَهُ فَوَجَدَ الرَّجُلُ الَّذِي اشْتَرَى الْعَقَارَ فِي عَقَارِهِ جَرَّةً فِيهَا ذَهَبٌ فَقَالَ لَهُ الَّذِي اشْتَرَى الْعَقَارَ خُذْ ذَهَبَكَ مِنِّي إِنَّمَا اشْتَرَيْتُ مِنْكَ الأَرْضَ وَلَمْ أَبْتَعْ مِنْكَ الذَّهَبَ فَقَالَ الَّذِي شَرَى الأَرْضَ إِنَّمَا بِعْتُكَ الأَرْضَ وَمَا فِيهَا قَالَ فَتَحَاكَمَا إِلَى رَجُلٍ فَقَالَ الَّذِي تَحَاكَمَا إِلَيْهِ أَلَكُمَا وَلَدٌ فَقَالَ أَحَدُهُمَا لِي غُلامٌ وَقَالَ الآخَرُ لِي جَارِيَةٌ قَالَ أَنْكِحُوا الْغُلامَ الْجَارِيَةَ وَأَنْفِقُوا عَلَى أَنْفُسِكُمَا مِنْهُ وَتَصَدَّقَا
Rasulullah SAW. Bersabda: “
Pertikaian itu justru menyatukan mereka jadi satu keluarga, melalui sebuah saran yang begitu bijak, karena si pemberi saran tahu duduk persoalannya dan dia benar-benar orang yang bijak.
Sebagai hakim, sudah semestinya bertindak adil. Seorang yang curhat karena punya permasalahan dengan orang lain biasanya disertai emosi yang meledak-ledak dan merasa bahwa dirinyalah yang benar. Biasanya juga “minta pembenaran” dari sang teman yang dicurhati. Bila seketika itu juga ditegur biasanya timbul komentar: “Koq elu malah belain dia sih!”.
Menenangkan itu perlu, agar emosinya reda sehingga siap menerima masukan. Namun rasa keadilan juga harus ada. Setelah mendengar duduk persoalan didengar dari kedua belah fihak, baru bisa disimpulkan di mana letak permaslahannya sehingga bisa memberikan masukan, tidak hanya kepada yang curhat (penggugat), tapi juga kepada saudaranya yang lain (tergugat)
Lebih parah kalau yang dicurhatin justru turut termakan emosi, maka sudah dapat dipastikan saran yang diberikannya justru ibarat menyiram api dengan minyak. Rasulullah telah menyarankan aga jangan memberikan keputusan terhadap dua orang yang berselisih dalam kondisi marah:
لا يَقْضِيَنَّ حَكَمٌ بَيْنَ اثْنَيْنِ وَهُوَ غَضْبَانُ
“Janganlah seorang hakim itu memberikan keputusan kepada dua orang (yang bertikai) sedangkan ia dalam keadaan marah” (H.R. Bukhari, Muslim, dll)
Ditengah ketidak pastian hukum di Indonesia serta maraknya teriakan-teriakan agar hakim bersikap adil, maka marilah hal tersebut kita jadikan cermin buat diri kita sendiri, sudahkah kita sendiri menjadi “hakim” yang baik bagi diri kita sendiri serta saudara kita se-muslim.
0 Comments:
Post a Comment