PENGANTAR
Diantara pembahasan hukum perdata adalah masalah perkawinan. Masalah hukum perkawinan mengalami perjalanan yang sangat panjang. Banyak pergolakan terjadi dalam upaya umat Islam mempertahankan legalitas hukum Islam dalam menyelesaikan persoalan-persoalan perdata diantara umat Islam. Sepotong diantaranya adalah masalah hukum perkawinan yang pada akhirnya diakui secara yuridis formil, baik pada masa VOC, kolonial Belanda dan setelah Indonesia merdeka. Walaupun secara yuridis formal hukum perkawinan Islam telah diakui sebagai bagian dari hukum nasional melalui perundang-undangan yang ada, namun apakah perundang-undangan tersebut sudah cukup mengakumudir hukum perkawinan Islam? Dalam makalah ini penulis akan mencoba membahasnya.
HUKUM PERKAWINAN
ANTARA HUKUM NASIONAL DAN HUKUM ISLAM
1. Hukum Perkawinan Pra Kemerdekaan
Hukum Islam (diantaranya hukum perkawinan) di Indonesia mengalami perjalanan yang cukup panjang. Sebelum Penjajah Belanda masuk ke Indonesia, hukum Islam telah dilaksanak an sebag ai dasar hukum di kerajaan- kerajaan atau kesultanan- kesultanan Islam. Ketika Belanda masuk melalui VOC ke Indonesia pada tahun 1596, Belanda membawa serta hukum negaranya utuk menyelesaikan masalah diantara mereka. Untuk lebih memantapkan posisinya, mereka berupaya pula untuk menundukkan masyarakat jajahannyapada hukum dan badan peradilan yang mereka bentuk. Namun pada kenyataannya badan peradilan bentukan Belanda ini tidak dapat berjalan, maka akhirnya Belanda membiarkan lembaga-lembaga asli yang ada dalam masyarakat terus ber jalan, sehingga selama hampir 2 abad masa VOC hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam dalam masyarakat muslim berjalan sebagaimana mestinya(1).
Masa VOC berakhir dengan masuknya Inggris pada tahun1800- 1811. Setelah Inggris menyerahkan kembali kekuasaannya kepada pemerintahan Belanda, pemerintah kolonial Belanda kembali ber upaya mengubah dan mengganti hukum diIndonesia dengan hukum Belanda(2). Namun melihat kenyataan yang berkembang pada masyarakat Indonesia, muncul pendapat dikalangan orang Belanda yang dipelopori oleh L.W.C. Van Den Berg bahwa hukum yang berlaku bagi orang Indonesia asli adalah undang-undang agama mereka, yaitu Islam. Teori ini kemudian terkenal dengan nama teori “Recepcio in Complexu” yang sejak tahun 1855 didukung oleh peraturan perundang-undangan Hindia Belanda melalui pasal 75, 78 dan 109 RR 1854 (Stbl. 1855 No.2)(3).
Cristian Snouck Hurgronje tidak sependapat dengan teori ini, menurutnya hukum yang berkembang di tengah-tengah masyarakat Indonesia bukan hukum Islam, melainkan hukum adat. Teori Hurgronje ini terkenal dengan nama teori “Receptie”(4).
Dampak dari teori ini, Pemerintah Kolonial Belanda tidak lagi mengakui hukum Islam yang berlaku untuk masyarakat Indonesia, melainkan hukum adatlah yang diakui. Dalam Indesche Staatsregeling pasal 131 ayat 6 ditulis;
”sebelum hukum untuk bangsa Indonesia ditulis di dalam undang-undang, bagi mereka itu akan tetap berlaku yang sekarang berlaku bagi mereka, yaitu hukum adat”(5).
Walaupun wewenang Penghoeluegerecht (Pengadilan Agama) dalam bidang munakahat tidak turut dihapus(6), namun dengan lahirnya peraturan ini jelas sangat merugikan umat Islam Indonesia. Seandainya ajaran Islam telah menjadi adat kebiasaan di suatu daerah, maka tentu tidak terlalu banyak menjadi persoalan. Seo rang Muslim juga masih bisa melangsungkan pernikahan melalui Penghoeluegerecht. Namun bagimana dengan seorang muslim atau muslimah yang tinggal di lingkungan yang tidak agamis atau tinggal di daerah yang mayoritas penduduk nya non muslim, maka apakah juga harus melangsungkan pernikahan menurut adat daerah tersebut yang mungkin bertentangan dengan hukum Islam?
Dalam Indesche Staatsregeling pasal 131 ayat 2 ditulis; ”Untuk golongan bangsa Indonesia asli dan Timur Asing, jika ternyata kebutuhan kemasyarakatan mereka menghendakinya, dapatlah peraturan-peraturan untuk bangsa Eropa (Burgerlijk Wetboek/ BW/ Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) dinyatakan berlaku bagi mereka, baik seutuhnya maupun dengan perubahan-perubahan...”.
Dalam ayat 4 disebutkan; ”Orang Indonesia asli dan orang Timur Asing, sepanjang mereka belum ditundukkan dibawah suatu peraturan bersama dengan bangsa Eropah, diperbolehkan menundukkan diri pada hukum yang berlaku untuk bangsa Eropah...”(7)
Menurut peraturan ini siapapun bisa menundukkan diri terhadap undang-undang Eropah, baik karena kehendak mereka sendiri maupun secara bersama. Ini artinya seorang muslim atau muslimah boleh menikah dengan menggunakan BW sebagai landasan hukumnya, sementara BW/ KUH-Perdata sendiri tidak mengatur tentang hukum nikah beda agama. Maka dapat disimpulkan bahwa undang-undang yang ada ketika itu tidak protektif terhadap akidah umat Islam, karena membuka peluang bagi terjadinya nikah beda agama dan pemurtadan melalui pernikahan, baik untuk muslim maupun muslimah.
Walaupun wewenang Penghoeluegerecht (Pengadilan Agama) dalam bidang munakahat tidak turut dihapus, namun tidak ada peraturan yang bersifat megikat dan memaksa bahwa umat Islam harus mengurus masalah pernikahannya melalui penghoeluegerecht. Yang ada malah kelonggaran untuk menundukan diri pada hukum Belanda/BW/ KUH Perdata sendiri adalah kitab undang-undang yang secara asal dibuat untuk golongan warga negara bukan asli (Indonesia), yaitu untuk golongan warga yang berasal dari Tionghoa dan Eropah yang mana perundang-undangannya disesuaikan dengan undang-undang yang be laku di Negeri Belanda. Dalam Indesche Staatsregeling pasal 131 diantaranya berbunyi; ”Untuk golongan bangsa Eropah dianut (dicontoh) perundang-undangan yang berlaku di Negeri Belanda (asas konkordansi) ”(8). Sementara Belanda sendiri mayoritas penduduknya beragamaKristen, sehingga baik secara langsung maupun tidak, kebijak an hukumnya pasti terpengaruh/ mendukung dengan ajaran Kristen. Sebagai contoh kita bisa lihat dalam Bab IV (Tentang Perkawinan) dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Bagian Kedua (tentang acara yang harus mendahului perkawinan), pasal 53 berbunyi; ”...Pengumuman tidak boleh dilangsungkan pada hari Minggu; dengan hari Minggu dalam hal ini dipersamakan: hari Tahun Baru, hari Paskah dan Pantekosta kedua, kedua-duanya hari Natal dan hari Mikhrad Nabi”(9). Contoh lain adalah pada pasal 27 dalam bab yang sama pada bag ian pertama (tentang syarat-syarat per kawinan) yang intinya sama sekali melarang poligami(10).
2. Hukum Perkawinan Pasca Kemerdekaan
A. Priode 1945-1974
Setelah Indonesia merdeka, selama dalam masa 1945-1974, pelaksanaan hukum perkawinan melalui badan perad ilan agama di Indonesia tetap tidak berubah, hal ini disebabkan beberapa hal, diantaranya:
a. tidak ada satu kitab hukum pun mengenai perkawinan dan waris pada peradilan agama yang dapat menjadi pegangan para hakim,
b. kuatnya tertanam teori Receptie yang diajarkan di Perguruan Tinggi Hukum Belanda, baik di Leiden maupun Jakarta.(11) Sebenarnya semenjak Indonesia merdeka,
teori Receptie sudah banyak digugat. Diantara alasan penggugatan itu adalah;
a. tidak sesuai lagi dengan UUD 45 sebagai penjabaran Pancasila dengan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertamanya(12).
b. Undang-undang Dasar Republik Indonesia tidak mengenal adanya golongan-golongan warga negara. Adanya hukum yang berlainan untuk berbagai golongan itu dianggap janggal(13).
c. Phobia sejarah bahwa KUHP adalah undang-undang buatan penjajah yang telah menjajah Indonesia selama tiga abad lebih lamanya. Sungguh aneh kalau setelah
berabad- abad Belanda dengan susah payah dan tarik ulur berupaya mengganti hukum
di Indonesia degan hukum Belanda(14), namun setelah merdeka justru dengan sukarela Indonesia tunduk dengan hukum Belanda.
B. Pasca Lahirnya UU No. 1 tahun 1974
Setelah Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan lahir, maka tamatlah riwayat teori Receptie dengan kalimat dalam Bab I pasal 2 yang berbunyi;
”Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.
Kalau dicermati lebih jauh, maka nampak bahwa undang-undang ini sangat akomudatif dengan kepentingan umat Islam. Hal ini bisa diamati umpamanya dalam Bab I pasal 2. Dengan pasal ini maka kini hukum nikah Islam telah diakui secara formil dalam perundang-undangan Indonesia untuk menangani pernikahan di kalangan kaum Muslimin Indonesia. Undang-undang ini juga lebih protektif terhadap pemurtadan melalui jalur perkawinan, karena masing-masing agama tidak ada yang meloloskan perkawinan beda agama(15).
Masalah poligami juga sudah diberi tempat dalam perundang-undangan walaupun dengan persyaratan yang sangat berat dan tidak disyaratkan dalam agama Islam. Dalam pasal 4 ayat (2) umpamanya disebutkan bahwa pengadilan hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
a). Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri; b). istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c) istri tidak dapat melahirkan keturunan. Butir dalam pasal ini dipertegas oleh Kompilasi Hukum Islam (KHI)dalam buku pertama, bab IX pasal 57 (16). Penulis merasa heran bagaimana syarat-syarat seperti ini bisa dimasukk an dalam Undang-undang perkawinan dan KHI. Padahal menurut KHI buku pertama bab 2 pasal 4 perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam, dan demikian juga menurut UU No. 1 tahun 1974 pasal 2. Lalu apa dasar hukumnya dalam Islam untuk pasal 4 ayat (2) UU No 1 Th. 1974 dan bab IX pasal 57 KHI buku pertama tersebut? sepertinya tanpak kontradiksi dalam pasal-pasal ini.
Walaupun secara formil sejak tahun 1974 undang-undang telah mengakui hukum nikah Islam, namun para hakim agama belum memiliki satu pegangan yang sama dalam memutuskan masalah. Untuk menghindari terjadinya satu kasus yang sama diputus dengan keputusan yang berbeda, maka dipandang perlu merumuskan suatu kompilasi hukum Islam yang dapat menjadi pegangan para hakim dalam memutuskan masalah. Setelah melalui proses yang panjang, maka pada tanggal 10 Juni 1991 disahkanlah Kompilasi Hukum Islam di Indonesia melalui Instruksi Presiden No.1 tahun 1991 yang terdiri dari tiga buku, yaitu buku pertama tentang perkawinan, buku kedua tentang kewarisan dan buku ketiga tentang perwakafan.
3. Kesimpulan
Sejak lahir nya UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, hukum Islam dalam bidang nikah diakui secara formil untuk mengatur masalah perkawinan umat Islam di Indonesia. Undang-undang ini sejalan dengan 7 kata dalam Piagam Jakarta yang dicoret pada tanggal 18 Agustus 1945 yang berbunyi: ”dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya”. Walau hanya secuil, lahirnya Undang-undang Perkawinan Ini adalah sebuah keberhasilan umat Islam dalam upaya memperjuangkan pelaksanaan syari’at Islam di Indonesia setelah gagal memperjuangkannya lewat Konstituante antara tahun 1956-1959.
Walau masih ada beberapa hal yang penulis rasa perlu direvisi dalam UU Perkawinan ini, namun apa yang ada dan sudah sangat baik harus dipertahankan. Jangan sampai umat Islam kecolongan oleh upaya-upaya kaum leberalis (Islam Liberal) yang berupaya memasukkan pembolehan nikah beda agama yang bertentangan dengan agama mana-pun dalam undang-undang perkawinan. Keberhasilan meng-goal-kan Undang-undang Perkawinan ini hendaknya dapat menginspirasi para pakar hukum dan politisi Muslim khusu snya, dan kaum Muslimin umumnya agar dapat meng-goal-kan undang-undang lain yang sejalan dengan syar i’at Islam dan bersifat mengikat secara umum, baik dibidang perdata maupun pidana.
Secara tekstual tidak ada aturan yang tegas dalam Islam tentang bentuk pemerintahan/ negara, tapi kewajiban menjalankan syari’at Islam adalah mutlak berdasar teks-teks Al-Qur`an dan Al-Hadits (diantaranya lihat Q.S. An-Nisa; 4 : 65 dan Al- Ma`idah; 5 : 44, 45 dan 47) apapun bentuk pemerintahannya. Wallahu A’lam.
--------------------------------------
Fotenote / Catatan :
1 Rofiq, Ahmad, Drs, MA, “Hukum Islam di Indonesia”, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2006),
Cet. Ke-6, hal. 49-50
2 Idem, hal. 51
3 Idem, hal. 52
4 Idem, hal. 54
5 Subekti, Prof, S.H, “Pokok-Pokok Hukum Perdata” , (Jakarta: PT. Intermasa, 1987), Cet.
XXI, hal. 11-12
6 Rofiq, Ahmad, Drs, MA, Idem, hal. 54
7 Dari dua pasal di atas nampak jelas bagaimana upaya kolonoal Belanda berupaya menundukkan masyarakat dengan hukum mereka, tidak bisa secara paksa karena dikhawatirkan pemberontakan yang besar maka diupayakan jalan halus. (Subekti, Prof, S.H, Idem, hal. 11-12 )
9 Intinya pengumuman nikah tidak boleh dilaksanakan pada hari-hari libur, sedang hari-hari libur yang diakui hanya hari-hari keagamaan Kristen (Hari minggu yang merupakan hari peribadatan kristen tahun baru, Paskah, Pantekosta dan Natal. Hari keagamaan Islam sendiri yang diakui hanya hari mi’rajnya Nabi Muhammad SAW)
10 Dalam Islam poligami dibolehkan (Q.S. An-Nisa: 3) dengan syarat adil dan mampu, sedang dalam Kristen tidak ada yang membolehkan.Tak heran kalau dalam negara-negara Barat dan Eropa yang mayoritas Kristen tidak pernah didengar ribut-ribut tentang masalah poligami sebagaimana sering didengar perselisihan tentang perselingkuhan.
1 1 Rofiq, Ahmad, Drs, MA, Idem, hal. 57
1 2 Idem
1 3 Subekti, Prof, S.H, Idem, hal. 14
1 4 Rofiq, Ahmad, Drs, MA, Idem, hal. 51
1 5 MediaCases: Jalan Keluar bagi Perkawinan Beda Agama yang Ditolak Pencatatannya (18
Mei 2006), gtzggpas.or.id
1 6 Dari pasal ini dapat difahami bahwa walaupun istri sudah memberi ijin poligami, namun ijin
dari pengadilan agama belum dapat diberikan kalau salah satu dari tiga syarat di atas tidak terpenuhi.
Syarat-syarat seperti tersebut di atas secara prakteknya hampir mustahil dapat tercapai dan lebih
terkesan melarang poligami secara halus, diijinkan tapi dilarang (ngono ya ngono, tapi mbo’ ya ojo
ngono). Hal ini memancing bayaknya terjadi pelanggaran, karena dalam sebuah ungkapan disebutkan:
kalau kamu tidak ingin dibantah/dilanggar, janganlah berikan perintah/ aturan yang mustahil
dilaksanakan. Dalam Islam sendiri, secara kontekstual hanya memberikan dua syarat, yaitu 1) mampu,
sebagaimana keumuman hadits: ”Hai para pemuda, barangsiapa dari kalian yang mampu untuk
menikah maka menikahlah” (H.R. Bukhari-Muslim), dan 2) adil. Yang dimaksud adil di sini adalah
pembagian dan kecendrungan secara yang tampak, sedangkan secara hati ada dalam kuasa Allah,
sebagaimana sabda Nabi setelah membagi jatah untuk istri-istri beliau: ”Ya Allah, inilah pembagianku
terhadap apa yang menjadi kepemilikanku, maka janganlah Engkau cela aku terhadap apa yang ada
dalam kepemilikan-Mu dan tidak ku miliki”. (H.R. Abu Daud, Nasa’i, Tirmidzi, Ibnu Majah)
0 Comments:
Post a Comment