30 Disember 2009

SYUBHAT


Hadits I


عَنْ أبي عبد الله النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ رضي الله عنهما قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ فَمَنْ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيهِ أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللَّهِ مَحَارِمُهُ أَلاَ وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ (رواه مسلم)


Artinya:

Dari Abu Abdillah, Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya yang halal itu jelas, dan yang haram (juga) jelas, (namun) diantara keduanya itu ada hal-hal yang syubhat, tidak banyak orang yang mengetahuinya. Barang siapa yang menjaga (diri) dari perkara syubhat itu maka ia telah menjaga kebersihan agama dan kehormatannya, dan barang siapa yang jatuh ke dalam perkara yang syubhat maka ia (bisa) jatuh ke dalam perkara yang haram, seperti seorang pengembala yang mengembalakan (ternaknya) disekitar kawasan terlarang, nyaris (ternak gembalaannya itu) merumput di daerah terlarang tersebut. Ketahuilah! Bahwa setiap raja itu mempunyai kawasan terlarang, ketahuilah! Bahwa kawasan terlarang Allah adalah apa yang diharamkan-Nya. Ketahuilah! Di dalam jasad itu terdapat segumpal darah, apabila ia baik maka akan baik pula seluruh jasad, dan apabila ia rusak maka akan rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah! Ia itu adalah hati (H.R. Bukhari, Muslim, dll/ Arba’in An-Naawiyah, hadits No.6)


Makna Kata:

بَيِّنٌ = Jelas, yaitu perkara-perkara yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya dalam Al-Qur`an dan Sunnah, juga telah menjadi kesepakatan ulama tentang halal atau haramnya

مُشْتَبِهَاتٌ = Bentuk jama’ / plural dari kata مشتبه / musytabih, yang berarti مشكل /musykill (sulit/ samar) karena tidak jelas halal atau haramnya perkara tersebut

لاَ يَعْلَمُهُنَّ = Tidak mengetahuinya, artinya tidak mengetahui hukumnya secara pasti lantaran pertentangan dalil atau samarnya dalil.

اتَّقَى الشُّبُهَاتِ = Menjaga (diri) dari perkara syubhat, maksudnya menjauhinya dengan menjaga jarak dari hal syubhat tersebut.

اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ = Artinya menuntut bersihnya nama baik dirinya dari segala tuduhan/ prasangka dan menuntut pembersihan agamanya dari kekurangan

وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ = Jatuh dalam perkara syubhat, artinya berani untuk jatuh dalam perkara syubhat tersebut/ melakukan hal yang syubhat tersebut.

حِمًى = Kawasan terlarang, bermakna المحمي / al-mahmiy (tempat terlarang), yaitu suatu (tempat) yang dilarang (untuk dimasuki) bagi yang bukan pemiliknya.



Hadits II

عَنْ أَبِي الْحَوْرَاءِ السَّعْدِيِّ قَالَ قُلْتُ لِلْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ رضي الله عنهما مَا حَفِظْتَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ حَفِظْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيبُكَ فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ وَإِنَّ الْكَذِبَ رِيْبَةٌ (رواه الترمذي)


Artinya:

Dari Abu Haura’ as-Sa’diy, ia berkata: Aku bertanya kepada Husain bin Ali Radhiyallahu ‘anhuma: Apakah (hadits) yang engkau hafal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Ia menjawab: Aku hafal sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tinggalkanlah perkara yang meragukanmu menuju perkara yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya kejujuran itu (membawa) ketenangan dan kebohongan itu (membawa) kegundahan dan keraguan” (H.R. Tirmidzi, Nasa’i, Ahmad/ Arba’in An-Nawawiyah, hadits No.11)


Makna Kata:

دَعْ = Maknanyaاترك / utruk (tinggalkanlah), fi’il amr/ kata perintah menunjukkan pada hokum sunnah.

مَا يَرِيبُكَ = Perkara yang meragukanmu, yaitu perkara-perkara syubhat yang meragukan

إِلَى مَا لاَ يَرِيبُكَ = Artinya, menuju kepada sesuatu yang halal dan jelas yang tidak meragukanmu.


Pengertian Syubhat dan Macam-Macamnya


Ulama berbeda pendapat tentang hukum syubhat. Ada yang berpendapat haram, ada yang berpendapat makruh, namun ada juga yang berpendapat tawaquf (status qou/ tidak bisa diputuskan dengan pasti).


Dalam Syarah Shahih Muslim, Imam an-Nawawi berkata dalam mengomentari hadits pertama: Segala sesuatu itu dibagi menjadi tiga:

  • Pertama: Halal, dan ini sangat jelas, seperti makan roti, buah-buahan dan lain sebagainya dari makanan, juga seperti berjalan, melihat, dan amaliyah yang lainnya.
  • Kedua: Haram, dan ini juga sangat jelas, misalnya minum khamer, zina dan lain sebagainya
  • Ketiga: Syubhat, yang tidak jelas halal atau haramnya, yang karenanya banyak orang yang tidak mengetahuinya. Sedangkan ulama bisa mengetahuinya melalui berbagai dalil Al-Qur`an, Sunnah atau melalui qias. Jika tidak ada nash (al-Qur`an atau sunnah) dan tidak ada ijma’, maka dilakukan ijtihad. Meski demikian, jalan yang paling selamat adalah meninggalkan perkara syubhat.

Ibnu Munzir membagi syubhat pada tiga bagian:

  1. Sesuatu yang diketahui keharamannya secara jelas, namun kemudian timbul keraguan karena bercampur dengan yang halal, dalam hal ini, hukumnya jelas jatuh pada haram, seperti daging sapi yang tercampur dengan daging babi.
  2. kebalikannya, yaitu sesuatu yang jelas halalnya namun kemudian timbul keraguan, atau jika keraguan itu muncul setelah ada rasa yakin, dalam hal ini kembali pada hukum asal/ yang diyakini semula, sebagaimana yang disebutkan oleh sebuah kaidah fiqh: اليقين لا يزال بالشك / al-yaqiinu laa yazaalu bisy-syakk (sesuatu yang telah diyakini itu tidak bisa digugurkan dengan keraguan). Umpamanya seorang suami yang ragu-ragu apakah ia telah mengucapkan kalimat talak atau belum, atau seseorang yang telah berwudhu kemudian ragu-ragu apakah ia sudah batal atau belum.
  3. sesuatu yang diragukan halal atau haramnya. Dalam hal ini lebih baik menghindarinya, sebagaimana yang dilakukan Rasulullah terhadap kurma yang beliau temukan di atas tikar beliau. Beliau tidak mau memakan kurma tersebut karena khawatir kurma tersebut adalah kurma sedekah, sedangkan Rasulullah tidak boleh memakan sedekah.

Ulama lain membagi syubhat pada empat macam:

  1. Karena terjadinya pertentangan dalil
  2. Sebagai implikasi dari pertentangan dalil, adanya ikhtilaf ulama
  3. Yang dimaksud dengan syubhat itu adalah perkara-perkaran yang makruh, karena terdapat tarik menarik antara sisi boleh dikerjakan dan mendaknya ditinggalkan.
  4. Yang dimaksud syubhat adalah perkara-perkara yang mubah (pada asalnya)

Ibnu Munir menukilkan dalam Manaqib gurunya, Al-Qibary, (ia meriwayatkan) darinya bahwa ia berkata: Makruh itu tirai penghalang antara seorang hamba dengan sesuatu yang haram, barangsiapa yang banyak melakukan hal yang makruh maka di berjalan menuju yang haram, dan hal-hal yang mubah itu adalah penghalang antara dia dan hal-hal yang makruh, maka barangsiapa yang kebanyakan melakukan hal-hal yang mubah maka hal itu dapat membawanya (jatuh) pada hal yang makruh.


Pendapat ini dikuatkan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, dari Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"اجعلوا بينكم وبين الحرام سترة من الحلال , من فعل ذلك استبرأ لعرضه ودينه , ومن أرتع فيه كان كالمرتع إلى جنب الحمى يوشك أن يقع فيه..."


“Jadikanlah antara kalian dengan sesuatu yang haram itu suatu penghalang berupa sesuatu yang halal, barangsiapa yang melakuikan hal itu, maka ia telah menjaga kehormatannya dan kebersihan agamanya, namun barangsiapa yang menggembala padanya, maka seolah ia mengembala didekat tanah larangan, nyaris saja ia masuk kedalamnya…”. (Shahih Ibnu Hibban, Juz 12, Kitab Al-Hadzhr wal Ibahah, hadits No.5569)


Buah Meninggalkan Perkara Syubhat

Meninggalkan sesuatu yang syubhat dan komit terhadap yang halal dalam masalah apapun, dapat mengarahkan seorang muslim pada sikap wara’ yang sangat potensial untuk menangkal bisikan setan, serta dapat mendatangkan kebaikan yang sangat besar, di dunia maupun di akhirat. Dengan menjaga diri dari perkara-perkara syubhat, maka akan terjaga agamanya maupun kehormatannya.


Sesuatu yang halal dan jelas tidak akan meninggalkan keraguan dalam hati seorang mukmin, bahkan akan melahirkan ketenangan dan kebahagiaan ketika melakukannya. Adapun sesuatu yang syubhat, meski ketika melakukannya tampak tidak ada masalah apapun, namun orang yang ingin menjaga diri dari dosa pasti akan merasakan adanya kegundahan dalam hatinya.


Orang yang meninggalkan syubhat pasti akan terpelihara kehormatan dan agamanya, karena logikanya tidak mungkin seseorang mampu meninggalkan berbagai perkara syubhat sementara ia sendiri masih bergelimang dengan hal-hal yang haram.


Orang yang sudah terbiasa dengan hal-hal yang syubhat, dikhawatirkan suatu saat akan terjerumus pada hal-hal yang haram. Dalam hal ini, Rasulullah mengumpamakannya dengan orang yang mengembalakan kambing di dekat daerah terlarang. Sepandai-pandainya pengembala menjaga kambingnya, suatu saat pasti ada saatnya dia lengah, sementara kambing hanya tertarik pada makanan tanpa peduli apakah itu telah masuk daerah terlarang dan berbahaya atau tidak.


Dalam hadits ini, seolah Rasul mengibaratkan nafsu manusia dengan kambing. Kambing hanya menuruti naluri makannya tanpa peduli apakah daerah tempat ia merumput dilarang untuk dimasuki dan berbahaya untuk dirinya sendiri ataukah tidak. Iman yang tertanam dalam dada adalah pengembala kambing tersebut. Kalau iman lemah dan lengah dalam menjaga gembalaannya, maka nafsu akan lepas kendali. Dan pengembala yang baik tidak akan mau mengambil resiko gembalaannya merumput di tempat terlarang.


Dalam hadits ini Rasulullah mengingatkan agar kaum muslimin senantiasa menjaga kebersihan hati, karena hati adalah sumber lahirnya amalan manusia. Bila bisikannya baik, maka amalan anggota tubuhnya juga baik. Namun jika bisikannya jahat, maka akan jahatlah amalan yang keluar dari anggota tubuhnya.


Diantara jalan menjaga kebersihannya adalah dengan tidak membiasakan diri pada hal-hal yang syubhat. Karena bila sudah terbiasa dengan hal-hal yang syubhat -apalagi yang haram-, hati tidak akan memiliki kepekaan lagi terhadap hal yang haram. Ibarat seorang pemulung yang sudah terbiasa mencium aroma busuknya sampah, maka ia tidak akan merasa terganggu dengan aroma busuknya. Tidur dan makan di tengah aroma busuk sampah adalah hal biasa bagi mereka.

Bila hati telah bersih, maka kehalalan, kebenaran dan kejujuran akan membuahkan kedamaian dan keridhoan, sedangkan kebatilan dan kedustaan akan melahirkan rasa gundah dan kebencian dalam dada.


Beberapa Pelajaran Lain Dari Hadits Ini

Selain menjelaskan tentang masalah syubhat sebagaimana telah dijelaskan di atas, dalam hadits ini juga terkandung beberapa pelajaran, diantaranya:

  1. Seruan agar mempertajam kemampuan intelektual dan menghaluskan jiwa terdalam manusia, yaitu dengan memperbaiki hati (yang caranya adalah dengan menjauhi perkara syubhat).
  2. Anjuran untuk menutup segala pintu yang mengarah pada berbagai hal yang dilarang
  3. Segaala sesuatu jalan yang mengarah pada perbuatan haram maka hukumnya haram
  4. Bimbingan agar kita menerapkan berbagai hukum dan menjalankan seluruh persoalan kehidupan dengan dilandasi keyakinan, bukan keragu-raguan
  5. Hadits II melahirkan kaidah fiqh:

اليقين لا يزال بالشك / al-yaqiinu laa yazaalu bisy-syakk (sesuatu yang telah diyakini itu tidak bisa digugurkan dengan keraguan).

-------------------------------------------------------------

Sumber Bacaan:

- Dr. Musthafa Al-Buqha & Muhyiddin Misto, “Pokok-Pokok Ajaran Islam; Syarah Arbain An-Nawawiyah”, (Robbani Press, Jakarta: 2002)

- Fathul Baari, Syarah Shahih Bukhari

- Syarah Shahih Muslim oleh Imam An-Nawawi

Silahkan ditambahkan atau dikoreksi


Share/Save/Bookmark

1 Comment:

Teknologi said...

Mohon ijin copy artikel, sangat bermanfaat. Syukron