25 November 2009

Bahaya Syirik dan Shalawat Syirik

وَلا تَكُونُوا كَالَّتِي نَقَضَتْ غَزْلَهَا مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ أَنْكَاثًا

“dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali, …” (An-Nahl: 92)


Sekali-sekali boleh kita bayangkan, bagaimana seandainya kita sudah beramal begitu banyak. Umpamanya kita telah puasa ramadhan sebulan penuh, Tadarus Al-Qur`an selalu kita lakukan, Qiyamul lail tidak pernah ketinggalan, sedekah dan infak selalu juga kita salurkan. Tak terbayang betapa banyak amal ibadah yang telah kita lakukan dan berapa banyak ganjaran yang telah kita terima. Terlebih lagi, Allah melipat gandakan pahala bagi siapa saja yang Ia kehendaki…

Selanjutnya coba kita bayangkan lagi, bagaimana seandainya tumpukan pahala dan ganjaran yang telah kita peroleh itu tiba-tiba musnah, sirna tak tersisa… Kita pasti kecewa sekali.

Hal ini pernah diibaratkan oleh Allah dalam Q.S. An-Nahl (16) ayat 92 : “dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali…

Perumpamaan ini kita bawa pada segala amal dan ibadah yang pernah kita lakukan selama ini. Kita telah berpuasa, tadarus Al-Qur`an, qiyamul-lail, berqurban, berhaji, sedekah, dan bermacam-macam ibadah yang lain. Janganlah amal ibadah yang telah kita lakukan selama ini kita rusak kembali.

Apa yang bisa merusak pahala itu? Satu-satunya yang bisa merusak ibadah yang telah kita lakukan itu adalah SYIRIK (mempersekutukan Allah). Dalam Q.S. Al-An’am (6) ayat 88 Allah berfirman: “…seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan”. Pahala puasa yang telah kita lakukan, ibadah qurban, haji, infak dan sedekah, semuanya itu habis sirna tak tersisa lantaran kita syirik.

Kenapa syirik begitu berbahaya? Karena memang syirik diletakkan oleh Rasulullah SAW dalam ranking pertama dari dosa besar (akbar al-kabaa`ir). Sampai-sampai Luqman al-Hakim berpesan kepada anaknya: “…Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan adalah benar-benar kezaliman yang besar".” (Q.S. Luqman (31) : 13)

Tapi terkadang dalam realita sehari-hari, kalau ada orang yang melakukan dosa syirik kita biasa-biasa saja. Kalau ada tetangga sebelah rumah yang berzina kita ribut, wajar saja, karena zina itu memang dosa besar. Jika ada yang berjudi, mabuk-mabukan, memakai narkoba, kita ribut, juga wajar saja, karena itu semua juga dosa besar. Namun seharusnya kita jauh lebih ribut bila ada orang yang memperaktekkan kesyirikan, karena dosanya jauh lebih besar daripada dosa zina, dosa judi dan mengkonsumsi narkoba.

Syirik itu bisa terjadi karena keyakinan (ittiqad), bisa terjadi karena perbuatan, dan bisa pula terjadi melalui perkataan. Syirik karena keyakinan umpamanya bila kita meyakini ada suatu benda yang sakti, yang bertuah, yang bisa mendatangkan manfaat dan mudharat, sehingga benda itu kita sanjung-sanjung, kita puja-puja dan kita sakralkan. Umpamanya benda seperti jimat penglaris, penangkal sial, dll. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu Mas’ud r.a, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW. Bersabda:

إِنَّ الُّرقَي وَالتَّمَائِمَ وَالتَّوْلَة شِرْكٌ

Sesungguhnya jampi-jampi, jimat (penangkal) dan pelet (penglaris) itu syirik”. (H.R. Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad)

Ini baru dalam keyakinan saja. Kalau ini kita realisasikan dalam perbuatan, umpamanya kita mendatangi dukun untuk melariskan dagangan, mengobati penyakit, mencari barang yang hilang, maka akan bertambah besar lagi. Dalam hadits dari Abu Hurairah: beliau bersabda:

مَنْ أِتَى كَاهِنًا فَصَدَّقَ بِمَا يَقُوْلُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمًّدٍ

Barangsiapa yang mendatangi dukun dan dia membenarkan apa yang dikatakan dukun tersebut, maka ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepa da Nabi Muhammad”. (H.R. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad)

Dalam hadits lain Rasulullah bersabda:

مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْئٍ لاَ تُقْبَلُ صَلاَتًهُ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا

Barangsiapa yang mendatangi “orang pintar” lalu ia bertanya padanya tentang sesuatu, niscaya tidak akan diterima sholatnya selama 40 hari”. (H.R. Muslim dan Ahmad)

Inilah diantara bentuk kesyirikan dalam perbuatan.

Diantara yang menjerumuskan kedalam kesyirikan juga adalah, kita memohon kepada Allah tapi disamping itu juga memohon kepada selain Allah. Dalam bahasa sehari-hari disebut juga “wasilah” atau “tawassul”. Tawassul itu ada yang dibenarkan dan ada pula yang tidak. Diantara wasilah yang dibenarkan adalah berwasilah kepada orang yang masih hidup. Umpamanya kita minta do’akan kepada orang yang sholeh atau kepada orang yang akan menunaikan ibadah haji agar mendo’akan kita di tempat-tempat mustajabah. Tapi kalau orang tersebut telah meninggal, kita haram hukumnya berwasilah kepadanya, walaupun dia ustadz, kiyai, wali, bahkan termasuk kepada Rasulullah SAW. Ada hadits dari Umar bin Khattab ra., bahwa ketika datang musim kemarau beliau berdo’a minta hujan (istisqa):

اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نّتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِيْنَا, وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا

Yaa Allah, sesungguhnya kami dahulu bertawasul kepada-Mu melalui (doa) Nabi kami (Muhammad), lalu engkau turunkan hujan kepada kami. Sekarang kembali kami bertawassul kepada-Mu melalui (doa) paman nabi kami (Abbas), maka turunkanlah hujan kepada kami”. (H.R. Bukhari)

Perhatikanlah redaksi do’a Umar ini… Umar bin Khattab tidak lagi berwasilah kepada Nabi Muhammad SAW., tapi berwasilah kepada paman Nabi yaitu Abbas r.a, sebagai pertanda bahwa tidak boleh berwasilah kepada orang yang sudah meninggal. Seandainya masih boleh berwasilah pada orang yang masih meninggal, tentu Umar tidak akan panda berwasilah kepada Abbas, karena kita semua tahu bahwa maqam (kedudukan) Rasulullah lebih tinggi daripada maqam Abbas.

Tapi dalam praktek sehari-hari masih banyak umat kita yang berwasilah kepada orang yang sudah meninggal. Mereka berwasilah kepada kuburan habib, kepada wali, kepada syekh Abdul Qadir Jailani, dan lain sebagainya… semuanya itu disebut kalau mereka ingin berdo’a kepada Allah. Mereka berwasilah kepada roh Rasulullah, kepada syuhada-syuhada peperangan Badar… itulah yang tersimpul dalam beberapa sya’ir yang orang Indonesia mengatakan “Shalawat-an”. Padahal, ketika turun ayat : “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi . Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (Q.S. Al-Ahzab: 56), para sahabat mendatangi Rasulullah SAW berkata:

يَا رَسُوْلَ الله, كَيْفَ نَصَلِّ عَلَيْكَ؟

Wahai Rasulullah, bagaimana cara kami bershalawat kepadamu?

Dengan tawadhu’nya mereka bertanya kepada Rasulullah SAW. Mereka tidak lancang merangkai kata membuat shalawat kepada Nabi. Padahal apa kurangnya orang Arab ketika itu? Dalam urusan sastra, mereka pakarnya. Namun sekarang orang merasa pintar, mereka lancang merangkai kata membuat shalawat tandingan diluar dari apa yang telah diajarkan, maka lahirlah ratusan shalawat yang tidak diajarkan oleh Rasulullah SAW.: Ada shalawat Nariyah, Shalawat Badar, Shalawat Fatih, dan lain-lain, dimana selain ini suatu bid’ah, juga kental dengan kemusyrikan.

Sebagai contoh, kita ambil saja sepotong shalawatan ini yang sangat populer :

تَوَسَّـلْنَا بِـبِـسْـمِ اللّهِ # وَبِالْـهَادِى رَسُـوْلِ اللهِ

وَكُــلِّ مُجَـاهِـدٍ لِلّهِ # بِاَهْـلِ الْبَـدْرِ يـَااَللهُ

Kami bertawassul dengan nama Allah (basmalah) # dan juga (bertawassul) dengan penyampai hidayah (yaitu) Rasulullah

Dan (kami juga bertawassul) dengan setiap mujahid di jalan Allah # (yaitu) dengan syuhada badar wahai Allah.

Dalam shalawat ini berisi tawassul dengan para syuhada Badar, sehingga populer dengan nama “Shalawat Badar”. Telah diterangkan sebelumnya bahwa bertawassul dengan orang yang telah meninggal adalah syirik.

Mungkin irama sya’irnya yang mendayu-dayu begitu membuai kita, terlebih dibumbui dengan bunyi tetabuhan rebbana. namun janganlah irama yang mendayu-dayu ini melalaikan kita sehingga kita latah ikut-ikutan menyanyikannya. Sekarang tanyalah pada nurani kita masing-masing apakah kita mau segala amalan yang telah kita lakukan pupus tak berbekas…

Dalam Q.S. Al-Jin (72) ayat 18 Allah berfirman: “dan Sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu berdo’a kepada siapapun di dalamnya di samping (menyeru) Allah.”. Selanjutnya dalam ayat ke 20 Allah berfirman: “Katakanlah: "Sesungguhnya aku hanya berdo’a kepada Tuhanku dan aku tidak mempersekutukan sesuatupun dengan-Nya".” Dalam Q.S. Al-Fatihah yang selalu kita baca kita telah berkomitment: “Hanya kepada Engkau kami beribadah, dan hanya kepada Engkaulah kami beristi’anah (meminta pertolongan).”. Bukan kepada orang yang telah meninggal, bukan kepada orang yang telah mati...

---------------------------------


* Di sadur dari Kuliah Ramadhan oleh Ust. Syaiful Bahri di Masjid Al-Muhajirin Tanah Abang Jakarta Pusat, dengan sedikit perobahan redaksi.


* Baca juga : Mahrus Ali, "Mantan kiai NU menggugat sholawat & dzikir syirik: nariyah, al-fatih, munjiyat, thibbul qulub", (Laa Tasyuki Press, 2007)





Share/Save/Bookmark

0 Comments: