Pada suatu hari, ketika saya mengajak kekasih hati untuk bersama melaksanakan ibadah puas a’Arafah, Dengan sedikit malu dia bertanya: bagaimana bacaan niatnya?
Pertanyaan senada pernah pula dilontarkan oleh seorang teman untuk kasus yang berbeda. Pada suatu hari, saya mengiringi adik-adik asuh dalam perjalanan ke daerah Puncak Bogor untuk mengikuti sebuah pelatihan. Ketika tiba waktu sholat, saya ajak mereka sholat dan saya katakana bahwa kita akan menjamak dan menqashar sholat karena kita sedang dalam safar. Terbit pula pertanyaan polos dari bibir mereka: “Apa bacaan niatnya kak?”
Dua kasus ini saya rasa sudah cukup buat menjadi gambaran bagaimana masyarakat kita memaknai niat dalam sebuah ibadah.
Sistem pendidikan kita mengajarkan bahwa seolah niat itu HARUS diucapkan. Mau sholat ada bacaan niatnya, mau puasa juga ada bacaan niatnya, beda sholat dan beda puasanya maka beda pula bacaan niatnya…
Tentang pentingnya niat dalam suatu aktifitas tidak perlu diperdebatkan lagi. Rasulullah bersabda:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
“Sesungguhnya segala amal itu tergantung pada niat, dan sesungguhnya bagi setiap orang itu (diganjar) sesuai dengan apa yang ia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang ditujunya atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu kepada apa yang dihijrahkannya”. (Muttafaq ‘Alaihi/ Arba’in An-Nawawiyah: 1 ).
Namun apakah niat itu harus dilafazkan? Tidak kita temukan satu-pun hadits dari Rasul maupun riwayat sahabat Rasul serta para tabi’in yang menyatakan bahwa mereka melafazkan niat untuk puasa ataupun sholat.
Demikian pula para imam mujtahid, tidak pernah tertutur dari mereka bahwa melafazkan niat untuk sholat dan puasa itu suatu kemestian. Hanya saja memang ada khilafiyah tentang BOLEH atau TIDAKnya melafazkan niat ketika hendak melaksanakan sholat. Sebagian ada yang mengharamkan dan mengatakan bahwa hal itu termasuk perbuatan bid’ah, dengan alasan bahwa melafazkan niat sholat sama saja menambah-nambah ritual dari ritual yang telah ditentukan oleh Allah dan Rasul, yang mana hal itu tidak dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabat beliau. Yang mengatakan boleh beralasan bahwa ritual sholat itu dimulai dari takbir dan diakhiri dengan salam. Melafazkan niat ini posisinya di luar dari ritual yang telah dituntunkan, jadi bukan bermaksud menambah-nambah, namun sekedar untuk mengokohkan niat di hati.
Intinya, TIDAK PERNAH diajarkan oleh Rasulullah para sahabat, tabi’in dan imam-imam mujtahid manapun tentang WAJIB atau harusnya melafazkan niat.
Namun sistem serta kurikulum pendidikan yang berlaku secara umum pada mata pelajaram Agama Islam di Indonesia kemudian memunculkan anggapan tersebut. Ketika hal itu telah terpatri dalam hati dari generasi ke generasi, akhirnya anggapan ini menjadi susah untuk dicabut kembali. Sesuatu yang semula hanya sekedar “boleh” berkembang menjadi “sunnah (lebih afdhal)” bahkan menjadi “wajib”, sehingga justru menjadikan Islam terkesan susah dan berat, padahal sebenarnya Islam sangat mudah. Islam justru mengajarkan untuk mengambil kemudahan dalam beribadah selama itu diperbolehkan.
Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ مِنْ الدُّلْجَةِ
إن دين الله يسر = Sesungguhnya agama ini mudah
ولن يشاد الدين إلا غلبه = Tidaklah seseorang seseorang itu melakukan penetrasi secara mendalam (bsa. jawa: neko-neko) dalam amaliyah keagamaan serta meninggalkan kemudahannya kecuali ia sendiri yang akan jadi lemah, terhenti, kemudian dikalahkan (menjadi jemu, dsb).
فسددوا = Relevan-lah, berbuat yang benar tanpa sikap menyepelekan dan tidak pula melampaui batas/ berlebih-lebihan; bersikaplah moderat.
وقاربوا = Jika kamu tidak mampu melakukannya secara sempurna, maka lakukanlah yang mendekati sempurna.
وأبشروا = Dan bergembiralah, yaitu (bergembiralah) dengan ganjaran atas amal yang berkesinambungan meskipun sedikit.
واستعينوا بالغدوة = minta bantuanlah agar amalan dapat berkesinambungan dengan melaksanakannya pada waktu-waktu yang penuh semangat. الغدوة awal siang.
الرَّوْحَة Setelah tergelincirnya matahari
الدُّلْجَةِ = Berjalan di akhir malam. Karena berjalan di malam hari adalah waktu yang lebih baik bagi musafir (di padang pasir). Dalam hadits ini, Rasul mengibaratkan orang yang diajak bicara sebagai seorang musafir yang sedang menuju suatu tempat. Beliau mengingatkan padanya tentang waktu-waktu di mana musafir bisa berjalan dengan penuh semangat, karena bila musafir berjalan di siang dan malam hari sekaligus, maka ia akan gampang kelelahan dan gagal dalam perjalanannya, namun bila ia memilih untuk berjalan pada waktu-waktu yang penuh vitalitas ini, ia dapat terus berjalan tanpa mengalami banyak kesulitan. Keindahan isti’arah ini, bahwa dunia pada hakikatnya adalah tempat bertolak menuju akhirat, dan waktu-waktu itu adalah saat-saat yang paling nyaman untuk beribadah.
(H.R. Bukhari/ Fath al-Baari Syarh Shahih Bukhari, diterjemah secara ringkas)
Di sini saya bukan bermaksud memperdebatkan boleh atau tidaknya melafazkan niat, namun sudah pasti bahwa melafazkan niat itu TIDAK WAJIB, maka janganlah hanya karena “tidak hafal lafaz niatnya” menjadi alasan atau penghalang bagi kita untuk melaksanakan ibadah.
Wallahu a’lam...
0 Comments:
Post a Comment