12 Februari 2009

FATWA HARAM GOLPUT: Dulu dan Sekarang

Dalam musyawarah ijtima' fatwa Majelis Ulama Indonesia di Padangpanjang, Sumatera Barat yang berakhir Senin, 26/01/09, Majlis Ulama Indonesia (MUI) akhirnya memfatwakan haramnya golput. Umat Islam diwajibkan memilih dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2009. (Teks Fatwa Haram Golput ini bisa di klik/download di sini atau di sini)


Fatwa haramnya golput ini bukanlah hal yang baru. Pada tahun 1953, Alim Ulama juga pernah menfatwakan haramnya golput pada pemilu 1955. (Teks dari fatwa ini bisa di lihat di blog ini atau download di sini).

Walaupun isi fatwanya sama tentang haramnya golput, namun ada sedikit perbedaan tentang landasan dan pertimbangannya serta suasana politik yang mendasarinya. Kita bisa melihat perbedaan itu diantaranya pada beberapa hal berikut:


  1. Pemilu tahun 1955 sangat kental suasana pertarungan ideologis. Partai Islam jelas mengedepankan warna Islamnya, Partai Nasionalis sekuler jelas dengan pendiriannya, Partai Komunis Indonesia juga secara terbuka memperjuangkan idiologinya, demikian juga partai-partai lain yang memiliki landasan idiologi yang berbeda. Namun pada pemilu 2009 ini kita tidak melihat perbedaan yang signifikan antara partai-partai yang berasaskan Islam dan/atau berbasis massa-kan Islam dengan yang tidak. Yang ditonjolkan oleh mereka dalam kampanyenya hanya tentang keadilan, kejujuran, anti koropsi, merakyat, penurunan BBM (yang sudah semestinya terjadi) dan slogan-slogan universal lainnya yang seharusnya memang sudah menjadi kewajiban yang tidak perlu dibangga-banggakan. Tidak satupun kita lihat ada partai politik berasaskan Islam yang berani terang-terangan memperjuangkan syari’at Islam dan serius memperjuangkannya.
  2. Pada pemilu tahun 1955, umat Islam bersatu dalam satu wadah MASJUMI. Walaupun ada partai lain yang juga berasas Islam (semisal PSII & NU), namun perjuangannya memiliki tujuan yang sama: untuk tegaknya syari’at Islam lewat konstintuate. Dalam pemilu 2009 ini kita tidak melihat adanya persatuan antara partai poitik Islam. Tujuan politik mereka pun remang-remang dan cenderung hanya cari kepentingan sendiri-sendiri. Tidak sedikit para caleg yang sudah resmi terdaftar jadi caleg namun tiba-tiba mengundurkan diri karena diterima PNS. Menjadi anggota legislatif tampaknya bagi mereka hanyalah sebuah lowongan pekerjaan ditengah susahnya cari pekerjaan di masa ini dibandingkan sebagai sebuah sarana perjuangan demi kepentingan umat Islam secara universal melalui jalur yang ’legal’.
  3. Pemilu tahun 1955 adalah pemilu pertama sejak merdeka yang mana hasilnya sangat mempengaruhi jalannya pemerintahan ke depan. Pancasila dan UUD 45 yang ketika itu sudah mulai disakralkan banyak orang juga sifatnya masih sementara, karena itu salah satu agenda anggota konstituante nantinya adalah merumuskan kembali dasar negara. Semangat mengembalikan Piagam Jakarta melalui konstituante sangat mengelora dan itu mereka buktikan dalam sidang-sidang konstituante. Walaupun akhirnya usaha tersebut harus kembali kandas oleh Dekrit Presiden Soekarno pada tahun 1959. Mereka telah membuktikan keseriusan mereka memperjuangkan syariat Islam ketika Indonesia belum merdeka melalui BPUPKI .
  4. Dalam teks fatwa pengharaman golput pada tahun 1953 sangat jelas disebutkan landasan keluarnya fatwa tersebut yang diantaranya Q.S. Al-Maidah 44, 45 dan 47 yang isinya memerintahkan menjalankan undang-undang yang sesuai dengan hukum-hukum Allah. Keputusan yang dibuat juga jelas tidak sekedar mengharamkan golput, namun juga mewajibkan umat Islam untuk hanya memilih calon-calon yang mempunyai cita-cita terlaksananya ajaran dan hukum Islam dalam Negara. Dalam fatwa tentang golput yang dikeluarkan pada tahun 2009 sebenarnya juga disebutkan syarat yang tegas, khususnya butir 4: ”Memilih pemimpin yang ... dan memperjuangkan kepentingan umat Islam Hukumnya adalah wajib”.


Kesimpulan:

Ada perbedaan suasana politik yang melatar belakangi munculnya fatwa ini. Fatwa tahun 1953 dengan tegas menyatakan haram golput karena memang kondisi politik saat itu sangat membutuhkan dukungan segenap umat Islam. Namun fatwa tahun 2009 tidak tegas menyatakan golput itu haram. Kalau fatwa MUI tersebut kita cermati lebih dalam, sebenarnya justru tidak tepat kalau fatwa tersebut dikatakan sebagai fatwa pengharaman golput. Bahkan mungkin lebih tepat dikatakan sebagai Fatwa Pengharaman Mencoblos kalau tidak ada calon yang memenuhi syarat. Karena dalam point 5 disebutkan: ”Memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat dalam buti 1 (satu) atau tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram”. Jadi kalau kita merasa bahwa tidak ada calon yang layak dan memenuhi syarat untuk dipilih maka justru memilih hukumnya adalah haram.


Jadi kesimpulannya, kalau fatwa tahun 1953 tegas mengharamkan golput, fatwa MUI tahun 2009 ini justru mengharamkan mencoblos, karena realitanya tidak ada parpol/calon yang dengan tegas memperjuangkan kepentingan umat Islam.


Share/Save/Bookmark

0 Comments: