Bertanya (istifham) pengertian dan tujuannya secara asal
adalah meminta informasi terhadap suatu
hal yang belum diketahui (thalabul ilmi
bi syai`in lam yakun ma’luuman min qablu).
Bertanya adalah salah satu sarana untuk menuntut ilmu
(thalabul ilmi), suatu hal yang mulia, dimana Allah berjanji mengangkat derajat
para penuntut ilmu (Q.S.58:11).
1.
Kapan Harus Bertanya, Kapan Harus Menjawab
Allah memerintahkan hamba-Nya untuk bertanya pada pakarnya
dalam hal-hal yang tidak diketahui. Allah berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلا رِجَالا نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا
أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ
Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu,
kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah
kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui (Q.S.16:43)
وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ إِلا رِجَالا نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ
الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ
Kami tiada mengutus Rasul Rasul
sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang-laki-laki yang Kami beri
wahyu kepada mereka, Maka Tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu,
jika kamu tiada mengetahui (Q.S.21:7)
Pentingnya bertanya untuk mengetahui
hal-hal yang tidak diketahui ini berkaitan erat dengan pertanggung-jawaban
segala aktifitas kita sebagai seorang mukallaf. Allah mengingatkan dalam
Firman-Nya:
وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ
كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولا
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang
kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabannya (Q.S.17:36)
Seorang yang berilmu
(ustadz/ulama/da’i) berkewajiban untuk menyampaikan ilmunya, dan ia juga
bertanggung-jawab terhadap apa yang dia sampaikan. Apabila umpamanya seseorang
da’i menyampaikan sebuah amalan yang sunnah/haram/wajib dsb untuk diamalkan, ia
juga bertanggung jawab terhadap apa yang ia jadikan landasan untuk
menyunnahkan/mengharamkan/mewajibkan dsb amaliyah tersebut. Seorang mukallaf
yang mendengar pengharaman/penyunnahan/pewajiban dsb suatu amaliyah tidak boleh
serta merta mengamalkannya sehingga ia mengetahui landasannya. Bila ia tidak
tahu, maka ia harus bertanya agar tahu, dan si penyampai harus bisa menjawab
sebagai pertangung-jawaban terhadap apa yang telah ia sampaikan.
Inilah yang membedakan antara
ustadz/alim/da’i Muslim dengan alim/rahib/pendeta ahli kitab (atau dengan Imam
yang dianggap ma’shum dalam Syi’ah):
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ
وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لا
إِلَهَ إِلا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
Mereka menjadikan orang-orang alimnya
dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka
mempertuhankan) Al masih putera Maryam,… (Q.S. 9:31)
Diriwayatkan dari Adi bin Hatim
(seorang sahabat Nabi mantan Kristiani), ia mengatakan: Aku pernah mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat ini. Aku bertanya: Wahai
Rasulullah, mereka tidak pernah menyembah pendeta-pendeta mereka. Rasulullah
menjawab: “Apabila pendeta mereka menghalalkan sesuatu maka mereka pun turut
menghalalkannya, dan apabila pendeta-pendeta mereka mengharamkan sesuatu maka
mereka pun turut mengharamkannya”. (H.R. Tirmidzy dan Baihaqy dengan sanad
yang dhaif, dikuatkan dengan hadits maukuf dari Hudzaifah dan hadits lain
dengan sanad mursal. Karenanya, Hadits ini dihasankan oleh Syaikh Albany).
Dalam menafsirkan ayat ini, para ahli
tafsir menafsirkan bahwa yang dimaksud rabb-rabb disini bukan berarti mereka
meyakini bahwa para pendeta/rahib tersebut
tuhan pencipta alam semesta. tetapi yang dimaksud bahwa mereka mematuhi
segala perintah dan larangan mereka. dalam konteks ini, hanya semata karena
mereka rela menerima syariat buatan dan mematuhi serta mengikutinya. itu saja,
tanpa ittikad dan ibadah, sudah cukup untuk menetapkan bahwa pelakunya telah
mempersekutukan Allah dengan kemusyrikan yang mengeluarkan mereka dari jajaran
orang-orang beriman. Nash Al-Qur`an, dalam men-sifati kemusyrikan dan
menjadikan rabb-rabb selain Allah,
menyamakan antara kaum Yahudi yang menerima dan mematuhi syariat yang dibuat
oleh ulama mereka dengan orang nashrani yang meng-ittiqad-kan ketuhanan Isa
Al-Masih dan melakukan penyembahan padanya.
2. Kapan Tak Perlu Bertanya, Kapan Tak
Perlu Menjawab
Tidak selamanya bertanya tentang hal
yang tidak diketahui itu terpuji. Adakalanya kita tidak perlu dan tidak patut
menanyakannya. Diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Bertanya Seperti Bani Israil
Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ
لَكُمْ تَسُؤْكُمْ وَإِنْ تَسْأَلُوا عَنْهَا حِينَ يُنَزَّلُ الْقُرْآنُ تُبْدَ لَكُمْ
عَفَا اللَّهُ عَنْهَا وَاللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan
kepadamu akan menyusahkan kamu… (Q.S.5:101)
Dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 67 – 73
dikisahkan tentang kaumnya Nabi Musa (Bani Israil) yang diperintah untuk
menyembelih seekor sapi dalam rangka untuk menyingkap sebuah kasus pembunuhan,
sekaligus untuk menunjukkan tanda kekuasaan Allah.
Dengan dalih untuk memperjelas
spesifikasi sapi yang harus disembelih, mereka terus menanyakan spesifikasinya.
Semakin dijelaskan spesifikasi yang mereka tanyakan, menyebabkan mereka semakin
sulit untuk mencarinya, sehingga hampir-hampir tercapai maksud tersembunyi dari
pertanyaan-pertanyaan mereka tersebut, yaitu agar perintah tidak perlu
dilaksanakan.
Pertanyaan-pertanyaan semisal inilah
yang dimaksud dengan “bertanya seperti Bani Israil”.
Pertanyaan-pertanyaan semisal ini
tidak sekedar mengakibatkan kesulitan sendiri dalam pelaksanaannya, namun biasanya
memang ada maksud terpendam untuk tidak melakukannya.
b. Ilmu Manusia Terbatas
Allah berfirman:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ
مِنَ الْعِلْمِ إِلا قَلِيلا
Dan mereka bertanya kepadamu tentang
roh. Katakanlah: "Roh itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu
diberi pengetahuan melainkan sedikit". (Q.S.17:85)
Sangat perlu disadari bahwa
pengetahuan manusia itu terbatas. Dan sangat penting pula untuk disadari bahwa
tidak semua hal perlu diketahui oleh manusia. Jadi, untuk apa mengetahui hal
yang tidak perlu diketahui, dan bagaimana mungkin menjawab hal yang tak
diketahui?
Dalam ayat di atas, ketika Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya oleh orang-orang Yahudi tentang roh,
beliau tidak merasa terhina untuk menyatakan bahwa beliau tidak tahu banyak.
Beliau tidak lancang menjawab dengan logika sendiri. Allah juga tidak
memberikan jawaban bukan berarti Allah tidak tahu. Maha Suci Allah dari hal
yang demikian. Namun andaipun diterangkan dengan panjang lebar oleh Allah
melalui Rasul-Nya, apakah hal itu ada manfaatnya?
Banyak hal yang tidak diketahui oleh
manusia, tidak mungkin diketahui, dan tidak perlu diketahui secara detil. Yang
masuk dalam masalah ini biasanya adalah hal-hal yang berhubungan dengan yang
ghaib-ghaib.
c. Nyari-nyari Masalah
Allah berfirman:
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ
أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ
فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ
وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ
آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلا أُولُو الألْبَابِ
Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al
Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah
pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun
orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti
sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah
untuk mencari-cari ta'wilnya, Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya
melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami
beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan
kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan
orang-orang yang berakal. (Q.S.3:7)
Pembahasan ini masih ada keterkaitan
dengan yang telah dibahas dalam poin sebelumnya (poin b). Ayat yang muhkamaat
ialah ayat-ayat yang terang dan tegas maksudnya, dapat dipahami dengan mudah.
Biasanya berkaitan dengan masalah hukum. Termasuk dalam pengertian ayat-ayat
mutasyaabihaat: ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat
ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali sesudah diselidiki secara mendalam;
atau ayat-ayat yang pengertiannya hanya Allah yang mengetahui seperti ayat-ayat
yang berhubungan dengan yang ghaib-ghaib misalnya ayat-ayat yang mengenai hari
kiamat, surga, neraka dan lain-lain.
Bertanya-tanya rinci tentang masalah
yang ghaib-ghaib ini dan mencari-cari jawabannya, biasanya hanya akan
menimbulkan fitnah dan kegoncangan iman, khususnya bagi orang awam. Umpamanya
seseorang bertanya tentang ke-Maha Kuasa-an Allah: Mampukan Dia menciptakan
sesuatu yang tak bisa Dia angkat? Sama saja bila dijawab bisa atau tidak,
ujung-ujungnya hanya melahirkan kesimpulan bahwa Allah tidak Maha Kuasa. Maha
Suci Allah dari hal demikian.
Hanya orang-orang yang berakal yang
bisa mengambil pelajaran dari keterbatasan akal mereka.
Wallahu a’lam

0 Comments:
Post a Comment