24 Mac 2013

BERTANYA & MENJAWAB



Bertanya (istifham) pengertian dan tujuannya secara asal adalah meminta informasi  terhadap suatu hal yang  belum diketahui (thalabul ilmi bi syai`in lam yakun ma’luuman min qablu).
                           
Bertanya adalah salah satu sarana untuk menuntut ilmu (thalabul ilmi), suatu hal yang mulia, dimana Allah berjanji mengangkat derajat para penuntut ilmu (Q.S.58:11).

1.      Kapan Harus Bertanya, Kapan Harus Menjawab
Allah memerintahkan hamba-Nya untuk bertanya pada pakarnya dalam hal-hal yang tidak diketahui. Allah berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلا رِجَالا نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ

Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui (Q.S.16:43)

وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ إِلا رِجَالا نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ

Kami tiada mengutus Rasul Rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang-laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, Maka Tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui (Q.S.21:7)

Pentingnya bertanya untuk mengetahui hal-hal yang tidak diketahui ini berkaitan erat dengan pertanggung-jawaban segala aktifitas kita sebagai seorang mukallaf. Allah mengingatkan dalam Firman-Nya:

وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولا

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabannya (Q.S.17:36)

Seorang yang berilmu (ustadz/ulama/da’i) berkewajiban untuk menyampaikan ilmunya, dan ia juga bertanggung-jawab terhadap apa yang dia sampaikan. Apabila umpamanya seseorang da’i menyampaikan sebuah amalan yang sunnah/haram/wajib dsb untuk diamalkan, ia juga bertanggung jawab terhadap apa yang ia jadikan landasan untuk menyunnahkan/mengharamkan/mewajibkan dsb amaliyah tersebut. Seorang mukallaf yang mendengar pengharaman/penyunnahan/pewajiban dsb suatu amaliyah tidak boleh serta merta mengamalkannya sehingga ia mengetahui landasannya. Bila ia tidak tahu, maka ia harus bertanya agar tahu, dan si penyampai harus bisa menjawab sebagai pertangung-jawaban terhadap apa yang telah ia sampaikan.

Inilah yang membedakan antara ustadz/alim/da’i Muslim dengan alim/rahib/pendeta ahli kitab (atau dengan Imam yang dianggap ma’shum dalam Syi’ah):

اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لا إِلَهَ إِلا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ

Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al masih putera Maryam,… (Q.S. 9:31)

Diriwayatkan dari Adi bin Hatim (seorang sahabat Nabi mantan Kristiani), ia mengatakan: Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat ini. Aku bertanya: Wahai Rasulullah, mereka tidak pernah menyembah pendeta-pendeta mereka. Rasulullah menjawab: “Apabila pendeta mereka menghalalkan sesuatu maka mereka pun turut menghalalkannya, dan apabila pendeta-pendeta mereka mengharamkan sesuatu maka mereka pun turut mengharamkannya”. (H.R. Tirmidzy dan Baihaqy dengan sanad yang dhaif, dikuatkan dengan hadits maukuf dari Hudzaifah dan hadits lain dengan sanad mursal. Karenanya, Hadits ini dihasankan oleh Syaikh Albany).

Dalam menafsirkan ayat ini, para ahli tafsir menafsirkan bahwa yang dimaksud rabb-rabb disini bukan berarti mereka meyakini bahwa para pendeta/rahib tersebut  tuhan pencipta alam semesta. tetapi yang dimaksud bahwa mereka mematuhi segala perintah dan larangan mereka. dalam konteks ini, hanya semata karena mereka rela menerima syariat buatan dan mematuhi serta mengikutinya. itu saja, tanpa ittikad dan ibadah, sudah cukup untuk menetapkan bahwa pelakunya telah mempersekutukan Allah dengan kemusyrikan yang mengeluarkan mereka dari jajaran orang-orang beriman. Nash Al-Qur`an, dalam men-sifati kemusyrikan dan menjadikan rabb-rabb  selain Allah, menyamakan antara kaum Yahudi yang menerima dan mematuhi syariat yang dibuat oleh ulama mereka dengan orang nashrani yang meng-ittiqad-kan ketuhanan Isa Al-Masih dan melakukan penyembahan padanya.

2.      Kapan Tak Perlu Bertanya, Kapan Tak Perlu Menjawab
Tidak selamanya bertanya tentang hal yang tidak diketahui itu terpuji. Adakalanya kita tidak perlu dan tidak patut menanyakannya. Diantaranya adalah sebagai berikut:

a.      Bertanya Seperti Bani Israil
Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ وَإِنْ تَسْأَلُوا عَنْهَا حِينَ يُنَزَّلُ الْقُرْآنُ تُبْدَ لَكُمْ عَفَا اللَّهُ عَنْهَا وَاللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu… (Q.S.5:101)

Dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 67 – 73 dikisahkan tentang kaumnya Nabi Musa (Bani Israil) yang diperintah untuk menyembelih seekor sapi dalam rangka untuk menyingkap sebuah kasus pembunuhan, sekaligus untuk menunjukkan tanda kekuasaan Allah.

Dengan dalih untuk memperjelas spesifikasi sapi yang harus disembelih, mereka terus menanyakan spesifikasinya. Semakin dijelaskan spesifikasi yang mereka tanyakan, menyebabkan mereka semakin sulit untuk mencarinya, sehingga hampir-hampir tercapai maksud tersembunyi dari pertanyaan-pertanyaan mereka tersebut, yaitu agar perintah tidak perlu dilaksanakan.

Pertanyaan-pertanyaan semisal inilah yang dimaksud dengan “bertanya seperti Bani Israil”.

Pertanyaan-pertanyaan semisal ini tidak sekedar mengakibatkan kesulitan sendiri dalam pelaksanaannya, namun biasanya memang ada maksud terpendam untuk tidak melakukannya.

b.      Ilmu Manusia Terbatas
Allah berfirman:

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلا قَلِيلا

Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (Q.S.17:85)

Sangat perlu disadari bahwa pengetahuan manusia itu terbatas. Dan sangat penting pula untuk disadari bahwa tidak semua hal perlu diketahui oleh manusia. Jadi, untuk apa mengetahui hal yang tidak perlu diketahui, dan bagaimana mungkin menjawab hal yang tak diketahui?

Dalam ayat di atas, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya oleh orang-orang Yahudi tentang roh, beliau tidak merasa terhina untuk menyatakan bahwa beliau tidak tahu banyak. Beliau tidak lancang menjawab dengan logika sendiri. Allah juga tidak memberikan jawaban bukan berarti Allah tidak tahu. Maha Suci Allah dari hal yang demikian. Namun andaipun diterangkan dengan panjang lebar oleh Allah melalui Rasul-Nya, apakah hal itu ada manfaatnya?

Banyak hal yang tidak diketahui oleh manusia, tidak mungkin diketahui, dan tidak perlu diketahui secara detil. Yang masuk dalam masalah ini biasanya adalah hal-hal yang berhubungan dengan yang ghaib-ghaib.

c.       Nyari-nyari Masalah
Allah berfirman:

هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلا أُولُو الألْبَابِ

Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. (Q.S.3:7)

Pembahasan ini masih ada keterkaitan dengan yang telah dibahas dalam poin sebelumnya (poin b). Ayat yang muhkamaat ialah ayat-ayat yang terang dan tegas maksudnya, dapat dipahami dengan mudah. Biasanya berkaitan dengan masalah hukum. Termasuk dalam pengertian ayat-ayat mutasyaabihaat: ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali sesudah diselidiki secara mendalam; atau ayat-ayat yang pengertiannya hanya Allah yang mengetahui seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan yang ghaib-ghaib misalnya ayat-ayat yang mengenai hari kiamat, surga, neraka dan lain-lain.

Bertanya-tanya rinci tentang masalah yang ghaib-ghaib ini dan mencari-cari jawabannya, biasanya hanya akan menimbulkan fitnah dan kegoncangan iman, khususnya bagi orang awam. Umpamanya seseorang bertanya tentang ke-Maha Kuasa-an Allah: Mampukan Dia menciptakan sesuatu yang tak bisa Dia angkat? Sama saja bila dijawab bisa atau tidak, ujung-ujungnya hanya melahirkan kesimpulan bahwa Allah tidak Maha Kuasa. Maha Suci Allah dari hal demikian.

Hanya orang-orang yang berakal yang bisa mengambil pelajaran dari keterbatasan akal mereka.

Wallahu a’lam


Share/Save/Bookmark

0 Comments: