Tidak jarang terjadi kesalahan dalam upaya memahami Islam, sehingga berdampak pada kesalahan sikap dalam ber-Islam ataupun dalam menyikapi Islam. Kesalahan dalam upaya memahami Islam ini bersumber pada beberapa hal, diantaranya: Pengambilan sumber yang salah, cara memahami yang salah, pemahaman yang parsial, atau memahami Islam dari prilaku orang-orangnya, bukan dari sumbernya, dll
Sumber Ajaran
Islam dari Allah. Sumber ajarannya juga dari Allah. Maka sumber ajaran Islam adalah wahyu dari Allah, yaitu Al-Qur`an dan As-Sunnah.
Kesalahan utama dalam upaya memahami Islam kadang terletak pada pijakannya. Mengambil pijakan yang salah, maka hasilnya-pun bisa salah. Seandainya-pun betul, maka hanya merupakan suatu kebetulan.
Diantara kesalahan dalam mengambil sumber hujjah ini adalah:
1. Berhujjah dengan hadits lemah dan palsu
Kesalahan yang sering terjadi dalam hal ini adalah mengambil hujjah (dalil) dengan hadits-hadits lemah dan palsu. Sebagian mungkin berpendapat bahwa berhujjah dengan hadits lemah dan palsu dalam fadha`il al-a’mal tidak mengapa selama tidak menyangkut masalah i’tikad, Namun masalah ini juga bisa melahirkan kesalahan dalam beragama. Siapa yang dapat memutuskan bahwa ini lebih afdhal dari yang lain?
Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Rasululah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa yang sengaja berbohong mengatas namakan diriku, maka hendaklah ia mempersiapkan tempat duduknya dari api neraka"
Tentang faedah dan kaedah dari hadits ini, Imam An-Nawawi menulis diantaranya:
"Tidak ada bedanya antara upaya berdusta dengan mengatas namakan Rasulullah dalam hal yang mengandung hokum atau dalam hal yang tidak mengandung hokum. Misalnya dalam masalah targhiib (anjuran untuk berbuat baik), tarhiib (ancaman dari berbuat kejelekan), mauizhah (nasehat) atau yang lainnya. Semuanya sama-sama haram hukumnya dan termasuk dalam katagori dosa besar"
2. Fanatisme, sehingga mengedepankan perkataan tokoh mazhabnya
Fanatisme pada mazhab atau pada orang tertentu juga berdampak dalam hal ini. Orang kadang lebih suka berhujjah dengan apa kata gurunya, kiyainya, bahkan apa kata orang-orang dulu (nenek moyang).
Ketika fanatisme telah merasuk, maka bagi mereka dalil bukan untuk menjadi sandaran kebenaran, namun jadi sandaran pembenaran terhadap apa yang telah kadung diyakini sebelumnya. Logika dibolak-balik agar apa yang telah kadung diyakini bisa menjadi benar.
Memahami Sumber
Sumber yang telah ada tidak bisa difahami semaunya. Kadang ada yang menganggap bisa memahami Al-Qur`an dan Sunnah semaunya. Dengan dalih “semua orang bisa memiliki pendapat yang berbeda”. Bagi mereka semua bebas berpendapat.
Ada yang memahami Islam dengan logika Kristen atau agama lain, sehingga lahir fiqh lintas agama. Inilah yang kadang merusak Islam. Ada orang hindu yang memahami Islam dengan pemahaman hindunya, Kristen dengan pemahaman Kristennya, dst…
Beragamnya cara memahami justru menjadikan Islam terpecah belah, padahal Allah justru menyeru untuk bersatu padu: “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali Allah, dan janganlah kamu bercerai berai,…” (Q.S. Ali-Imran:103)
Lalu bagaimanakah semestinya?
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Telah berpecah belah Yahudi menjadi 71 golongan, dan telah berpecah belah Nashrani menjasi 72 golongan, dan akan terpecah belah umatku menjadi 73 golongan, semuanya akan masuk Neraka kecuali satu”. Sahabat bertanya:’Siapakah dia ya Rasulullah?’, sabdanya:”Barangsiapa yang menetapi apa yang aku dan para sahabatku berada di atasnya” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ahmad dan Ibn Majah).
Dalam hadits lain Rasulullah bersabda: “Aku berwasiat kepada kalian (untuk menetapi) sahabatku, kemudian orang-orang setelah mereka (tabi’in), kemudian orang-orang setelah mereka (tabi’u tabi’in). Kemudian akan tersebar kedustaan sehinga seseorang membuat persaksian sebelum dia diminta…” (H.R. Tirmidzi, Ahmad, Ibnu Majah)
Pemahaman terhadap sumber Islam (Al-Qur`an dan Sunnah) adalah dengan mengikuti pemahaman salaf ash-shalih yang telah direkomendasikan sendiri oleh Allah dan Rasul-Nya.
Logika yang lurus
Tidak jarang kekeliruan memahami Islam karena logika berfikir yang terbalik, umpamanya orang yang menetapkan wajibnya syahadat kembali bagi muslim keturunan, malah mereka yang menanyakan dalil yang menyatakan tidak perlu syahadat lagi, padahal mereka telah tahu hokum asalnya seorang anak yang baru lahir.
Pemahaman yang Integral
Islam harus dipelajari secara integral sebagai suatu kesatuan, bukan secara parsial. Umpamanya orang yang hanya melihat Islam dari sudut Bab Jihad, maka melihat seolah Islam itu keras dan penuh peperangan. Orang yang melihat Islam semata dari sudut Akhlak (Bab Adab), khususnya tentang zuhud semata dan mendalami itu saja akhirnya bisa menjadi orang yang hidup dalam kependetaan, atau berpendapat seolah jalan zuhud ala Sufi adalah jalan terbaik.
Menempatkan sesuatu pada tempatnya
Islam adalah satu kesatuan, tidak bisa dipisah-pisahkan. Kesempurnaan Islam yang melingkupi berbagai aspek kehidupan (syamil) tidak justru mendatangkan kebingungan. Ke-syamil-an Islam justru agar kita bisa bersikap sesuai situasi dan kondisi yang melingkupi tanpa keluar dari bingkai syari’at.
Bukan ayatnya yang salah. Kadang juga bukan karena haditsnya yang lemah. Juga bukan pemahamannya yang keliru, namun karena kita salah menempatkannya sehingga terjadi kesalahan itu (Tentang ini, semoga suatu saat bisa saya tulis lebih detil dengan pembahasan “Fiqh Waqi’/ memahami realita”)
Tambahan
Beberapa kaidah lain dalam memehami Islam agar selamat dalam pemahaman kita tentang Islam ini adalah:
- kesalahan sebagian orang dalam memahami Islam kadang terjadi karena mempelajari Islam dari kenyataan umat Islam. Sikap yang salah dari sebagian umat Islam, keterbelakangan pendidikan, keawaman serta ketidak tahuan khususnya dalam iptek, kadang membuat orang mengambil kesimpulan bahwa Islam itu agama yang mengajarkan demikian. Ini terjadi karena upaya memahami Islam dari kenyataan umatnya, bukan dari sumbernya sebagaimana disebutkan di atas. Maka, hendaknya kita memahami Islam dari sumbernya. Kalaupun ingin melihat pada realita, maka lihatlah pada realita ummat yang telah diakui oleh Allah dan Rasul-Nya, yaitu generasi Sahabat radhiyallahu ‘anhum.
- Mempelajari Islam hendaklah dari kepustakaan yang ditulis para ulama Islam yang mu’tabar, bukan malah melalui literature-literatur yang diterbitkan oleh orientalis atau kaki tangan orientalis. Sungguh realita yang aneh, tidak sedikit cendikiawan kita yang belajar Islam justru pada non-Islam, seperti Leiden University, Leipzig University German, Arizona State University, dan McGill University.
Wallahu a'lam...
0 Comments:
Post a Comment