PENDAHULUAN
Akhir tahun 2008 yang lalu, Indonesia dihebohkan dengan pernikahan seorang pendiri pondok pesantren di Jawa Tengah. Pujiyono Cahyo Widiyanto atau lebih terkenal dengan nama Syekh Puji, pendiri Pondok Pesantren Miftahul Jannah di daerah Bedono, Ambarawa, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, gencar menjadi bahan pemberitaan karena menikahi seorang wanita yang masih belia. PemilikP.T. Sinar Lendoh Terang yang memproduksi kerajinan kuningan untuk pasokan dalam dan luar negeri ini menikahi Lutfiana Ulfa yang masih berusia 12 tahun.
Pernikahannya sendiri berlangsung secara sirri pada tanggal 8 Agustus 2008 silam, namun entah kenapa baru heboh pemberitaannya selepas 'Idul Fitri (Oktober) atau dua bulan kemudian, padahal pernikahan dini bukan kasus baru di tanah air. Boleh jadi karena ada kaitannya dengan hebohnya masalah pembagian zakat secara langsung kepada warga yang mengakibatkan banyaknya jatuh korban jiwa akibat berdesak-desakan di Pasuruan, Jawa Timur pada bulan Ramadhan. Sebagaimana juga diberitakan, pengusaha kaya ini pernah bikin heboh dengan memberikan bantuan langsung (zakat) Rp 1,3 miliar kepada warga Bedono, Kecamatan Jambu, Kabupaten Semarang.
Akibat maraknya pemberitan ini, tak urung para petinggi negara dan tokoh masyarakat angkat bicara mengecam tindakan Syekh Puji. Wakil Presiden Jusuf Kalla berkata pernikahan tersebut ketinggalan jaman. Menteri Agama Muhammad Maftuh Basyuni menilai Syekh Puji bisa dikenakan sanksi sesuai pelanggaran yang ia lakukan. Hal senada juga disampaikan Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Dr Asrorun Niam. Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Seto Mulyadi sampai turun tangan berupaya memisahkan kedua sejoli tersebut. Bahkan kabarnya kepolisian juga mulai melakukan pemeriksaan yang memungkinkan Syekh Puji di bui.
Ada juga suara-suara yang mendukung langkah Syekh Puji, namun seolah tenggelam dengan maraknya kecaman. Apa sih sebenarnya “dosa” Syekh Puji sehingga dia dihujat sedemikian rupa?
Dari pengamatan penulis, setidaknya ada tiga alasan yang dikemukakan para tokoh tersebut dalam penolakan terhadap perbuatan Syekh Puji tersebut, yaitu:
- Pelanggaran terhadap undang-undang nomor 1 tahun 1974 (perdata)
- Pelanggaran terhadap terhadap hukum Islam
- Pelanggaran undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak (pidana)
- Pelanggaran Terhadap UU No.1 Tahun 1974 (Perdata)
Alasan ini diantaranya dikemukakan oleh Menteri Agama Muhammad Maftuh Basyuni. Pernyataan itu disampaikan Maftuh seusai membuka Halaqah Pengembangan Pondok Pesantren di Hotel Mercuri, Ancol, Jakarta, Minggu malam (26/10/08). Menteri agama menjelaskan, di Indonesia orang Islam terikat dengan dua ukuran. Di satu sisi sebagai Muslim dia terikat pada syariat, sementara di sisi lain sebagai warga negara dia terikat pada hukum positif, dalam hal ini UU Perkawinan. Karena itu, ia setuju dengan langkah Komnas Perlindungan Anak yang akan menuntut Syekh Puji karena perkawinan yang dia lakukan terhadap anak usia 12 tahun. "Dalam UU Tahun 1974 mengenai Undang-Undang Perkawinan disebutkan batas minimal usia perkawinan", katanya.
- Pelanggran Terhadap Hukum Islam
Alasan ini menjadi perbedaan pendapat dikalangan kaum muslimin. Ada yang mengatakan boleh dan ada yang mengatakan bahwa menikahi gadis belia tidak diperbolehkan. Peristiwa Rasulullah SAW. menikahi ‘A`isyah yang masih belia menurut mereka adalah kekhususan untuk Nabi SAW.
Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Dr. Asrun Niam mengatakan: "Perkawinan dia secara hukum fikih memang (sah), tetapi haram karena bisa menimbulkan dhoror (bahaya)". Ia mengatakan, secara syariah apa yang dilakukan Syekh Puji memang tidak dilarang, dengan catatan bocah tersebut sudah mengalami menstruasi. Namun, dari sudut pandang hukum positif yang mengacu pada UU Perkawinan, pernikahan Syekh Puji tidak sah. Selain itu, juga menimbulkan masalah dalam perlindungan anak. Mengenai pernikahan yang dilakukan Syekh Puji dengan pernikahan siri (bawah tangan), menurut Niam, pernikahan itu meski sah secara agama, dapat meniadakan hak-hak perdata pihak perempuan.
Dari sini dapat dilihat, bahwa alasan Dr. Asrun Niam mengatakan tidak bolehnya menikahi gadis belia ataupun nikah sirri bukan karena dilarang agama secara syar’i, namun karena rawan menimbulkan dhoror (bahaya). Hal senada juga diungkapkan oleh Kiai Husein Muhammad.
- Pelanggaran Terhadap UU Perlindungan Anak (Pidana)
Alasan ini diantaranya dikemukakan oleh Ketua Komnas Pelindungan Anak Seto Mulyadi dan Rudi Satrio Mukantardjo, ahli hukum pidana Universitas Indonesia (UI). Ia juga menuding pernikahan Syekh Puji merupakan bentuk perdagangan anak dan bisa mengarah kepada eksploitasi dan kekerasan ekonomi. Untuk itu Syekh Puji bisa dijerat Pasal 74 - 90 UU No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Selain melanggar UU Perlindungan Anak, Syekh Puji juga bisa dijerat Pasal 288 KUHP karena menikahi anak di bawah umur. Dalam pasal tersebut dinyatakan, barangsiapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang wanita yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin. apabila perbuatan itu mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun
PEMBAHASAN
A. Dari sisi Hukum Islam
Penulis rasa tidak perlu berpanjang lebar membahas nikah dini Ulfa dengan Syekh Puji dilihat dari sudut pandang hukum Islam. Pro-kontra dalam hal ini ada, namun Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Dr. Asrun Niam sendiri mengakui bahwa pernikahan Puji–Ulfa sah secara hukum Islam. Beliau hanya mempermasalahkan pernikahan tersebut rawan menimbulkan dharoror. Bicara maslaha dharor juga relatif. Tidak sedikit juga yang memandang positif pernikahan mereka. Contohnya yang ditulis dalam http://www.gaulislam.com/balada-syekh-puji-dan-ulfa dan http://www.gagasmedia.com/opini/penulis/menyimak-sisi-positif-kasus-syekh-puji.html.
B. Dari Sisi Hukum Perdata
Ditinjau dari sisi hukum perdata Republik Indonesia, jelas apa yang dilakukan oleh Syekh Puji telah melanggar Undang Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Diantara yang dilanggar dari undang-undang tersebut adalah:
1. Dalam pasal 2 ayat (2) disebutkan: “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”, sedangkan perkawinan Syekh Puji dengan Lutfiana Ulfa tidak tercatat di Pengadilan Agama setempat atau nikahnya secara sirri.
2. Dalam pasal 3 ayat (1) disebutkan: “Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami”, sedangkan Syekh Puji sudah mempunyai seorang istri ketika menikahi Ulfa.
3. Dalam pasal 7 ayat (1) disebutkan: “Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”, sedangkan Lutfiana Ulfa dinikahi oleh Syekh Puji dalam usia 12 tahun.
Walaupun telah melanggar Undang-undang Perkawinan, namun semata pelanggran ini tidak dapat menyebabkan Syekh Puji dikenai sanksi sebagaimana yang dikemukakan para tokoh di atas, karena yang dilanggarnya adalah hukum perdata. Hukum Perdata adalah ketentuan yang mengatur hak-hak dan kepentingan antara individu-individu dalam masyarakat. Artinya selama pihak-pihak yang terkait dengan pernikahan tersebut tidak mempermasalahkannya maka tidak menjadi masalah. Pihak Syekh Puji dan Ulfa sendiri tidak ada yang meributkan pernikahan tersebut.
Dampak yang timbul dari pernikahan tersebut hanya sebatas pada masalah legalitas karena pernikahan tersebut tidak tercatat, seperti masalah warisan, status anak, perwalian dan lain lain.
Pelanggaran tersebut serta dampaknya sebenarnya dapat diselesaikan berdasarkan undang-undang perkawinan itu juga selama semua pihak memang berkeinginan menyelesaikan masalah dan bukannya membesar-besarkan masalah. Penyelesaiannya adalah sebagai berikut:
1. Untuk masalah pencatatan perkawinan, sebenarnya dapat diselesaikan dengan pembaharuan perkawinan tersebut di hadapan pejabat yang berwenang agar pernikahannya bisa sah secara hukum.
Dalam pasal 26 ayat (1) UU Perkawinan disebutkan: “Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam keturunan lurus ke atas dari suami atau istri, jaksa dan suami atau istri”. Ayat (2): “Hak untuk membatalkan oleh suami atau istri berdasarkan alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami-istri dan dapat memperlihatkan akte perkawinannya yang dibuat pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinannya harus diperbaharui supaya sah”. Pasal-pasal ini membuka peluang “nikah ulang” untuk melegalkan status pernikahan secara hukum R.I.
2. Untuk menikahi anak di bawah umur yang dilarang oleh UU Perkawinan pasal 7 ayat (1), sebenarnya kemungkinannya masih bisa diselesaikan dengan ayat (2) dalam pasal yang sama yang berbunyi: “Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita. Seperti diketahui, Syekh Puji telah mengajukan langkah dispensasi ini. Artinya syekh Puji juga ada upaya untuk menyelesaikan masalah secara legal.
3. Untuk tuduhan pelanggaran pasal 3 ayat (1) UU Perkawinan, sebenarnya tidak perlu dipersoalkan, karena istri Syekh Puji pun sudah mengijinkan suaminya nikah lagi. Pasal 3 ayat (2) undang-undang ini juga memberi jalan untuk suami yang ingin berpoligami.
Pasal 3 sampai 5 undang-undang ini dalam pandangan penulis “aneh”. Silahkan lihat bahasannya ringkasnya dalam makalah penulis “Hukum Perkawinan” yang penulis tulis untuk mata kuliah “Hukum Perdata” pada semester genap tahun 2008 halaman 5 atau lihat di http://jukunglarut.blogspot.com/
C. Dari Sisi Hukum Pidana
Dari sudut hukum pidana Syekh puji dituduh melanggar pasal 74 - 90 UU No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Pasal-pasal tersebut berkenaan dengan Komisi Perlindungan Anak. Namun penulis kurang jelas, pasal mana tegasnya yang dilanggar Syekh Puji?. kalau menurut tudingan Ketua Komnas PA pernikahan Syekh Puji merupakan bentuk perdagangan anak dan bisa mengarah kepada eksploitasi dan kekerasan ekonomi, ini sebuah tuduhan yang serius. Hal ini perlu dibuktikan. Namun kalau tidak terbukti bisa jadi justru Seto Mulyadi yang berpeluang dituntut balik.
Kalau yang dimaksud tersebut adalah pasal 78 UU No. 23 tahun 2002 yang berbunyi: “Setiap orang yang mengetahui dan sengaja membiarkan anak dalam situasi darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, anak korban perdagangan, atau anak korban kekerasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, padahal anak tersebut memerlukan pertolongan dan harus dibantu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”, lalu bagaimana dengan para artis cilik Indonesia semisal Baim? Kenapa tidak ada yang mempermasalahkan?
Rudi Satrio Mukantardjo, ahli hukum pidana Universitas Indonesia (UI) juga menyatakan bahwa Syekh Puji juga bisa dijerat Pasal 288 KUHP karena menikahi anak di bawah umur. Dalam pasal tersebut dinyatakan, barangsiapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang wanita yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin. apabila perbuatan itu mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Bila dicermati teks dari pasal tersebut, Puji baru bisa dipidana “apabila perbuatan itu mengakibatkan luka-luka”. Artinya Syekh Puji tidak bisa seketika dikenakan tindak pidana semata karena pernikahannya dengan gadis belia. Selain itu, pengertian “belum waktunya untuk dikawin” masih relatif. Apakah Ulfa belum waktunya untuk dikawin? Karena dalam Islam, ketika seseorang sudah akil baligh maka sudah dibebani tanggung jawab, sedangkan urusan nikah erat kaitannya dengan urusan tanggung jawab.
KESIMPULAN
Terlepas dari semua pro dan kontra tentang pernikahan syekh Puji dengan Ulfa, dari kasus ini sebenarnya dapat diambil setidaknya tiga kesimpulan:
1. Kasus ini menunjukkan bahwa undang-undang perdata kita, khususnya masalah perkawinan, masih rawan pelanggaran. Ini mungkin karena undang-undang ini belum cukup memenuhi aspirasi masyarakat. Selain itu mungkin karena tidak ada bingkai pidana yang menjamin aturan ini akan dipatuhi.
2. Kasus ini menunjukan betapa besarnya pengaruh media dalam proses hukum. Kasus nikah sirri bukan hanya sekali ini. Kasus poligami juga bukan hal baru. Tidak sedikit kiyai yang berpoligami. Kasus nikah dini juga rasanya bukan kasus baru. Namun kenapa kasus nikah sirri Syekh Puji dengan Ulfa di usia dini ini jadi begitu mencuat? Walaupun sebenarnya masih bisa diselesaikan secara baik-baik dalam bingkai hukum yang ada, namun seolah semua pihak begitu ngotot agar pernikahan ini jangan sampai diteruskan. Bahkan masalah berkembang dari kasus perdata menjadi kasus pidana juga. Ini tidak lepas dari peran media yang terlanjur menghukumi. Semestinya seorang hakim tidak boleh terpengaruh oleh opini yang dibentuk media dan tidak semestinya tokoh masyarakat turut membantu terbentuknya opini yang tidak semestinya.
3. Pembahasan ini menunjukkan bahwa Syekh Puji tidak sepenuhnya bisa disalahkan. Ada undang-undang yang dilanggarnya (perdata), namun sebenarnya masih bisa diselesaikan secara baik-baik. Sementara Pasal-pasal pidana yang ditujukan kepadanya terkesan sangat dipaksakan.
(Tulisan ini di tulis pada Bulan Februari 2009 Untuk memenuhi tugas tentang Hukum Perdata pada mata kuliah Hukum Perdata Islam di Indonesia pada Jurusan Muamalat, Fakultas Agama Islam, Universitas Islam kalimantann, Banjarmasin)
0 Comments:
Post a Comment